Oleh Dhimam Abror
Mantan Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, genap berusia 80 tahun. Acara ambal warsa diperingati dengan tumpengan dan doa bersama di Masjid Nurul Iman, Margorejo Indah 14 Mei 2023.
Setelah purna tugas sebagai gubernur, Imam Utomo menghabiskan waktunya sebagai private citizen, orang biasa, yang setiap hari bergaul dengan orang-orang biasa di sekitarnya. Ia mengabdikan hidupnya sebagai Ketua Dewan Pembina Masjid Nurul Iman yang dibangun pada 2002 dan jaraknya kira-kira hanya 50 meter.
Masjid Nurul Iman seolah menjadi padepokan tempat orang berkumpul, beribadah, dan mencari tambahan ilmu agama. Di “Padepokan Nurul Iman’’ itu Imam Utomo didapuk sebagai pandito, sesepuh yang dimintai nasihat oleh berbagai orang dari berbagai kalangan.
Pada 2008, Imam Utomo pensiun dari jabatannya sebagai gubenur. Lengser keprabon, madeg pandito, berhenti dari jabatan kekuasaan dan menjadi sosok pandito, sesepuh yang mengayomi dan mengajarkan kebijakan kepada orang-orang di sekitarnya. Ia membangun masjid dan kemudian menjadikannya sebagai padepokan tempat dia memfokuskan diri untuk beribadah.
Setelah lengser keprabon, Imam Utomo undur diri dari semua aktivitas publik yang bersifat politis. Di berbagai tempat di Indonesia, pensiunan kepala daerah banyak yang memburu jabatan politik dan bergabung dalam partai politik. Banyak di antaranya yang kemudian menjadi anggota legislatif di daerah atau pun di level pusat.
Banyak juga para pemimpin di daerah yang menyiapkan anak dan istrinya untuk melanjutkan jabatan politik yang sudah ditinggalkannya. Banyak sekali gubernur dan kepala daerah yang menyiapkan istrinya ataupun anaknya untuk meneruskan kekuasaan.
Imam Utomo tidak mengambil jalan itu. Dia tidak membangun politik dinasti. Tidak ada anak-anaknya atau istrinya yang dipersiapkan untuk terjun ke dunia politik. Sejak awal anak-anaknya tidak ada yang masuk ke dunia politik praktis maupun masuk ke dunia birokrasi memanfaatkan jabatan orang tuanya. Anak-anak Pak Imam menjadi private citizen, orang biasa, yang bekerja di bidangnya masing-masing secara profesional.
Imam Utomo membangun rumah pribadi di Margorejo Indah, lalu membangun rumah untuk putra-putrinya dalam satu kompleks, dan kemudian membangun masjid untuk melengkapi padepokannya.
Dengan pengalamannya 10 tahun menjadi gubernur–dan berkiprah di bidang mililter mulai dari menjadi Danrem sampai menjadi Pangdam—tidak akan sulit bagi Imam Utomo untuk merebut kursi DPR RI. Partai-partai politik pasti berebutan menawarinya untuk bergabung. Tetapi, Imam Utomo tidak memilih jalan itu. Sebelum menjadi gubernur, Imam Utomo sudah menjadi anggota DPR RI dari fraksi ABRI. Pengalaman politiknya sudah lengkap dan paripurna.
Ia memilih jalan “minandito” menjadi pandito, meninggalkan semua jabatan duniawiah dan berkonsentrasi pada tugas-tugas sosial dan menekuni ibadahnya. Satu-satunya jabatan sosial yang diembannya sampai sekarang adalah menjadi Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Jawa Timur. Melalui PMI, Imam Utomo melanjutkan kiprahnya untuk mengabdi kepada masyarakat dengan membantu mengatasi penderitaan akibat bencana dan penyakit.
Itulah satu-satunya jabatan organisasi yang diemban Imam Utomo. Ia menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Tidak ada tanda-tanda post-power syndrom sedikitpun pada diri Imam Utomo. Setiap subuh ia berjalan kaki menuju masjid untuk sholat berjemaah.
Setiap Sabtu dan Minggu subuh, Masjid Nurul Iman lebih ramai dibanding hari-hari kerja. Setelah jemaah subuh acara dilanjutkan dengan tausiah dan dilanjut dengan sarapan pagi bersama. Saat itulah Imam Utomo duduk lesehan di teras masjid bersama jemaah menikmati sarapan, menikmati kopi dan kue-kue.
Imam Utomo menjalani masa purna tugas dengan sikap sumeleh. Ia sudah menjalani seluruh episode hidupnya. Karir militernya yang panjang menjadikannya seorang ksatria yang mengabdi kepada negara dengan profesionalisme tinggi.
Sebagai seorang jenderal militer, Imam Utomo menunjukkan kualitas seorang ksatria Jawa yang sempurna, menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi Sapta Marga sebagai bagian dari sumpah prajurit dan kewajiban seorang kstaria untuk melaksanakan dharma.
Dari jabatan militer, Imam Utomo kemudian menjadi gubernur yang membawanya menjadi seorang pemimpin, seorang prabu, di keprabon Jawa Timur. Selama 10 tahun memimpin Imam Utomo menjadi pengayom bagi semua kekuatan sosial-politik yang ada di Jawa Timur. Pengayoman itulah yang menjadikan Jawa Timur selalu tenang melewati masa-masa yang penuh gejolak.
Imam Utomo lahir dari lingkungan keluarga Jawa yang mencintai budaya Jawa. Dalam keluarganya juga kental tradisi santri karena lingkungannya di Jombang adalah lingkungan santri. Banyak orang menyebut Jombang adalah akronim dari kata “ijo” dan “abang” artinya hijau dan merah. Hijau adalah simbol religiusitas santri dan merah adalah simbol nasionalisme.
Abang juga identik dengan “abangan”, yaitu sebutan untuk orang-orang Jawa yang mempraktikkan agama Islam secara sinkretis dengan memadukan Islam dengan mistisisme budaya Jawa yang dipengaruhi Hindu.
Ijo dan abang itu ada pada karakter Imam Utomo. Dia seorang nasionalis tulen. Hal itu dia buktikan selama mengabdi sebagai tentara dan ketika mengemban amanat sebagai Gubernur Jawa Timur. Ia juga menjalankan agama dengan tekun. Ia orang Jawa yang santri. Ia menyukai wayang dan keris sebagai bagian dari upaya “ngugemi” dan “nguri-nguri” budaya Jawa, tetapi dia juga taat menjalankan syariah agama.
Dalam konsep Jawa tujuan hidup seorang manusia adalah menuju “sangkan paraning dumadi”, menuju pada kesempurnaan hidup dan kembali kepada Dzat Pemilik Kehidupan. Dumadi berasal dari kata “dadi” (jadi) yang ditambah dengan selipan “um” menjadi “dumadi”, artinya “menjadi”. Ada proses dalam perjalanan hidup manusia Jawa sebelum “dumadi” menyatu dengan yang Ilahi.
Imam Utomo mengidolakan tokoh pewayangan Werkudara yang tinggi besar, gagah perkasa, dan jujur dalam berbicara dan bersikap. Dalam lakon “Dewa Ruci”, Werkudara mengembara sampai ke dasar laut untuk mencari “tirta purwitasari”, air kehidupan yang menjadi lambang hikmah dan kebenaran sejati.
Pada akhirnya kebenaran sejati ada pada diri sendiri, menyatu dengan kebenaran Tuhan, Manunggaling Kawula-Gusti, Wihdatul Wujud, menyatunya hamba dengan Tuhan. Imam Utomo sudah menapaki perjalanan hidupnya selama 80 tahun. Dia sudah menjalani kehidupannya menuju proses “dumadi”, menjadi manusia paripurna. (*)
*) Dhimam Abror (Wartawan senior, mantan Ketua PWI Jatim, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, dan Wakil Ketua Yayasan Masjid Nurul Iman, Mergorejo Indah, Surabaya)