Gonjang ganjing Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan korban sejumlah calon kepala daerah, calon gubernur, calon bupati dan calon walikota, tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi dengan menjalankan praktik korupsi, pungli atau suap menyuap, dan setelah disidangkan semakin memalukan karena sengaja melakukan perbuatan melanggar aturan itu seperti sudah menjadi kebiasaan atau ’’budaya baru’’.
Sampai saat ini, ada sejumlah calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, mereka yaitu, Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, yang berkompetisi di pemilihan Bupati Jombang, Jawa Timur, serta Bupati Ngada Marianus Sae yang turut dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Tidak berhenti sampai di situ, terakhir, calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun dan anaknya, Adriatma Dwi Putra, yang kini menjabat Wali Kota Kendari, terjerat kasus dugaan suap terkait proyek di lingkungan Pemkot Kendari.
KPU memang memberlakukan mekanisme yang sama terhadap semua calon kepala daerah saat mengikuti Pilkada serentak 2018. Sehingga calon kepala daerah berstatus tersangka masih mempunyai hak mengikuti tahapan Pilkada termasuk kampanye.
Namun, status sebagai tersangka akan menyulitkan calon kepala daerah untuk melakukan kampanye. Apalagi, apabila aparat penegak hukum menahan yang bersangkutan.
Yang jelas, KPU telah menetapkan masa kampanye di Pilkada serentak 2018 akan digelar mulai 15 Februari-23 Juni mendatang. Kampanye dapat dilakukan dengan cara menggelar rapat publik dan melalui media massa.
Lepas dari jumlah calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka atau sudah ada di antara mereka sudah diadili, tetapi calon kepala daerah tersangka masih ikut pesta demokrasi merupakan kecelakaan politik. Betapa tidak? Kepala Daerah di mana saja merupakan refresentatif sebagai pemimpin di daerah itu, sebagai teladan di daerah, sebagai bapak atau ibu dari masyarakat warga daerah itu? Tentu saja dengan visi dan misi atau cita-cita luhur ingin mensejehterakan dan memakmurkan kehiduapan rakyat di daerah itu. Paling tidak membangun sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan rakyat di daerah itu.
Bahkan kalau mau menengok cita-cita luhur hampir seluruh calon kepala daerah, pasti seluruhnya melalui proses panjang, merupakan tokoh masyarakat yang sudah dikenal dan populer, juga didukung perilaku yang positif, setidak-tidaknya berbudi pekerti luhur (akhlaqul karimah), sehingga menjadi bagian dari tokoh yang akan dipilih masyarakat daerah setempat untuk dijadikan pemimpin yang amanat.
Namun, kalau sebelum mengikuti pesta demokrasi melalui Pilkada, sudah ditetapkan sebagai tersangka, tentu dengan bukti pendukung yang sangat kuat, dari mulai proses penyelidikan sampai penyidikan, maka suasana pesta demokrasi itu, diakui atau tidak diakui, dalam kondisi ’’terluka’’. Tinggal memeriksa dengan teliti dan waspada, apakah masuk katagori luka parah atau luka biasa-biasa saja.
Klitgard menyebutkan bahwa korupsi pada level pejabat negara dan pembuat kebijakan dapat terjadi karena monopoli kekuatan yang dimiliki pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tidak diiringi oleh pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi.
Korupsi dengan mekanisme seperti ini mungkin dapat menggambarkan kondisi pada masa orde baru dan orde reformasi. Dimana kekuatan memonopoli kekuasaan yang dimiliki dengan menciptakan kebijakan sangat besar. Namun tidak diiringi oleh mekanisme pengawasan secara sungguh-sungguh. Justru jajaran pengontrol menjadi bagian proses korupsi atau sejenis dalam skala besar dan melembaga.
Keserakahan dan ketamakan sebagai modus dalam berbagai kasus korupsi ini pernah diungkapkan oleh Jack Bologne. Melalaui Teori akar penyebab korupsinya yang disimplifikasi dengan sebuah akronim GONE, Bologne menyebut Greedy, Opportunity, Needs, dan Expose sebagai penyebab terjadinya korupsi. Menurut Jack Bologne, jika keempat variable tersebut digabungkan, maka akan menjadi formulasi yang paling tepat untuk terjadinya tindakan korupsi. Keserakahan (greedy) yang didukung oleh terbuka lebarnya kesempatan (opportunity) yang diperkuat oleh kebutuhan (needs) akan memunculkan keinginan untuk korupsi. Keinginan untuk melakukan korupsi ini juga diperkuat dengan hukuman yang menjerat (expose) kepada para pelaku korupsi, selalu berpihak kepada ketidakadilan.
Keempat variabel dari teori Jack Bologne ini rasanya tepat sekali untuk menggambarkan situasi Indonesia pada saat ini. Korupsi yang sampai saat ini tidak kunjung tuntas dan terus menerus terjadi, khususnya pada birokrasi Indonesia. Apalagi. di satu sisi, ternyata jeratan hukum yang selama ini telah dikenakan kepada para koruptor, dan ternyata juga tidak memberikan efek jera. Apalagi ternyata para penegak hukum pun dapat disuap untuk meminimalisasi hukuman yang akan diterima. Hal ini sejalan dengan teori Klitgard yang juga menjelaskan bahwa korupsi akan selalu mengikuti kekuasaan.
Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian, saat memberikan pidato kunci dalam Peluncuran Buku dan Seminar Nasional “Realitas dan Tantangan Konstitusionalisme HAM di Tahun Politik” di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Sabtu.(31/3), berharap ada kajian akademik untuk mengevaluasi kembali sistem Pilkada langsung karena terbukti memuat banyak dampak negatif selain aspek positif. Pilkada langsung diusulkan saat era reformasi, tujuannya masyarakat bisa memilih pemimpinnya secara langsung. Tetapi setelah 20 tahun kita juga lihat ada dampak negatif dari Pilkada langsung ini.
Tito berharap pemerintah, bersama LSM, serta akademisi bisa bersama-sama melakukan evaluasi dengan kajian akademik mengenai Pilkada langsung. Bahkan dirinya juga telah menyiapkan tim untuk melakukan penelitian itu. Kalau lebih banyak
manfaatnya silakan jalan terus. Tetapi kalau dampak negatifnya lebih banyak cari solusi yang lain.
Ketika Pilkada dengan penggelar Pesta Demokrasi sudah ’’Terlula’’, tentu saja seperti orang sakit, wajib diaobatkan sampai sembuh, supaya tidak menjalar atau semakin parah. Hanya saja membutuhkan kepastian diagnosa dari para ahli di bidang komunikasi dan demokrasi. Apakah kondisi riil di Indonesia sudah luka parah sampai harus diamputasi, atau dilakukan operasi besar? Atau hanya sekedar luka ringan dan hanya membutuhkan minum obat, atau minum obat dengan disuntik pula.
Plus minus Pilkada, Pileg, dan Pilpres pasti ada. Namun ketika luka itu sudah menimbulkan kerugian dalam aspek yang sangat luas dengan nilai cukup besar, tentu saja tidak ada pilihan lain, kecuali harus diamputasi? Atau dengan kata lain mengembalikan penyelenggaraan negara sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
’’Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”