Surabaya – Masyarakat pers nasional memiliki tanggung jawab untuk menggali dan menyiarkan track record serta kapasitas tokoh-tokoh yang menyatakan siap menjadi presiden dan wakil presiden.
Informasi mengenai drama pencitraan tokoh seharusnya tidak menjadi warna dominan dalam pemberitaan seputar kontestasi politik nasional yang sudah di depan mata.
Hal itu disampaikan pendiri Sindikasi Media Online Indonesia atau Indonesian Online Media Syndicate (IOMS) Teguh Santosa dalam dialog di RRI Pro 1 Jakarta, Rabu (28/3). IOMS adalah jaringan media yang dikelola oleh Kantor Berita Politik RMOL.
Teguh yang juga Penasehat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menjadi narasumber tunggal dalam dialog yang dipandu penyiar Ratih Atmodjo itu.
Drama pencitraan seperti naik kereta atau naik jet pribadi bersama petahana, diundang ke Istana memberi makan domba, atau ke makam minta wangsit dan berkeliling dengan sepeda yang terlalu berlebihan bisa menyesatkan. Seakan hal-hal itu jauh lebih penting daripada kemampuan tokoh membaca tantangan zaman dan menyusun program strategis.
Publik, sambung Teguh, harus mendapatkan informasi yang lebih substansial tentang figur daripada sekadar drama pencitraan.
Masyarakat harus dibantu untuk memahami bahwa tantangan di depan lebih berat. Negara-negara besar dipimpin oleh tokoh yang memiliki karakter kuat dan di saat bersamaan punya komitmen memproteksi kepentingan nasional mereka. Ada Donald Trump di Amerika Serikat, Xi Jinping di Republik Rakyat China, Shinzo Abe di Jepang, dan Narendra Modi di India, misalnya.