1 Juni 1945

1 Juni 1945

Pagi hari, 1 Juni 1945. Empat hari berselang setelah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibuka.

Seorang insinyur berusia 43 tahun maju ke mimbar. Di sampingnya duduk pimpinan sidang, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter dan aktivis senior yang disegani dari era Boedi Oetomo. Di hadapannya berbaris lima deret meja di sebelah kiri yang berhadapan dengan lima deret meja di sebelah kanan.

Pada kedua sisi deretan meja itu, duduk tokoh-tokoh terkemuka se-Indonesia, kaum cerdik pandai yang menjadi perwakilan dari berbagai pergerakan rakyat Indonesia.

Di baris sebelah kanan sang insinyur melihat Ki Hadjar Dewantara, seorang aktivis paripurna yang telah malang-melintang di alam pergerakan kebangsaan sejak awal abad ke-20.

Sewaktu muda dan masih bernama Soewardi Soerjaningrat, ia pernah diinternir oleh Belanda akibat ketajaman penanya dalam mengkritik penindasan kolonial atas bangsa Indonesia.

Beberapa meja serong ke kiri dari Ki Hadjar, sang insinyur menatap Haji Agoes Salim, cendekiawan Muslim asal Kota Gadang yang juga aktivis Sarekat Islam. Beberapa meja serong ke kiri dari cendekiawan kesohor itu, duduk pula Maria Ulfah Santoso, ketua pengurus besar Istri Indonesia, anggota Badan Pemberantas Buta Huruf dan Ketua Komisi Perkawinan dalam Badan Pekerja Kongres Perempuan Indonesia.

Di baris meja sebelah kiri sang insinyur menemukan Mr. Tan Eng Hoa, seorang peranakan Tionghoa yang juga ahli hukum asli Semarang. Dua saf di belakangnya, duduk ulama besar Kyai Haji Wahid Hasjim, seorang tokoh penting Nadhlatul Ulama asal Jombang. Sebelah kiri sang Kyai, duduklah P.F. Dahler, seorang peranakan Indo yang juga aktivis pergerakan Insulinde.

Tiga meja di depannya, duduk Mr. Johannes Latuharhary, seorang ahli hukum dari Saparua dan pengurus Parindra cabang Malang. Beberapa meja serong ke kiri, duduk pula Kyai Haji Mas Mansoer asal Surabaya yang pernah menjadi ketua pengurus besar Muhammadiyah Yogyakarta.

Berdirilah tegak sang insinyur di hadapan para anggota sidang yang terkemuka itu. Dengan getar suara yang sarat akan nyala api kemerdekaan, ia bicara soal keperluan untuk merumuskan suatu “pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Ia lalu bicara tentang Pancasila.

Asal-Usul Pancasila

Apabila garuda yang jadi lambang negara kita berasal dari tahun 1950, Pancasila punya riwayat yang jauh lebih panjang. Pada tahun 1945, para pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Lima sila itu adalah landasan tempat kita berpijak dalam segala hal yang berhubungan dengan hidup bernegara.

Setiap warga negara tentu merdeka untuk mengutarakan pikiran dan pendapatnya sendiri. Akan tetapi, kalau sudah menyangkut persoalan bernegara dan hidup bersama sebagai anggota dari negara, maka kita wajib berpedoman pada Pancasila.

Semua aturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah harus bisa dirunut asal-muasalnya dalam semangat kelima sila dalam Pancasila. Itulah maksudnya Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun baru dicetuskan pada tahun 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan ditetapkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila sebetulnya sudah berlaku dalam praktik sehari-hari masyarakat Indonesia.

Soekarno tidak mengarang bebas waktu ia mencetuskan Pancasila pada sidang BPUPKI. Ia tidak mereka-reka Pancasila dari angan- angannya sendiri.

Dalam mencetuskan Pancasila, Sang Proklamator merangkum pengalaman berjuang bangsa Indonesia melawan penjajahan. Ia membaca sejarah bangsa kita yang hidup sengsara di bawah penjajahan Belanda. Ia mempelajari bagaimana rakyat Indonesia ditindas oleh para priyayi setempat yang mengabdi Belanda. Ia menyelidiki sebab-sebab kenapa penjajahan biasa menimpa bangsa Indonesia.