Dr. H. Muhtadi M.HI
(Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Darul’Ulum Jombang)
Setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, sering kita melihat benner yang bertulisan“Marhaban ya syahra Ramadhan 1442 H”, terpampang di depan masjid, mushalla, setiap lembaga pendidikan, bahkan hampir di depan setiap instansi pemerintah, ada tulisan semisal marhaban………ya syahra al-Siyam.
Namun tidak demikian halnya saat bulan Syawal tiba, tidak ada tulisan “Marhaban ya syahra Syawal 1442 H”, yang ada malah ungkapan tertulis “Selamat hari raya Idul Fitri 1442 H, mohon maaf lahir batin”. Sepertinya bulan Ramadhan memang bulan yang super istimewa dari bulan-bulan yang lain, sebagaimana telah banyak disarikan dalam al-Quran maupun al-Hadith.
Kata Marhaban terlepas dari kata apapun yang tertulis sesudahnya adalah mengandung perasaan senang dan bahagia walaupun dalam kenyataanya tidak semuanya demikian. Layaknya akan kedatangan tamu Agung Rasulullah misalnya, marhaban ya Rasulallah, suatu ngkapan kebahagiaan akan kehadiran orang teristimewa diantara ciptaan Allah.
Ungkapan kerinduan seseorang yang terpendam lama berpisah, atau memang belum pernah bertemu sama sekali secara fisik, mendambakan ingin bertemu kelak di akherat, begitulah kiranya dengan ungkapan marhaban ya Ramadhan.
Wajar jika kemudian umat Islam menyambut baik, mencurahkan tenaga, pikiran dan sebagian hartanya untuk beribadah atau beramal di bulan yang disebut syahr al-Quran ini.
Terlebih pada detik-detik di penghujung malam (semalam) yang lebih baik dari seribu bualan, malam yang disebut oleh Rasulullah pembebasan dari api neraka. Perasaan senang dan sedih melebur menjadi satu, senang karena telah mampu menjalankan ibadah puasa, shalat tarawih, tadarus al-Quran, dan amal shalih yang lain, sedih karena bonus pada bulan ini (berlipat gandanya pahala, mustajabahnya do’a), tinggal beberapa hari lagi akan berakhir.
Idul Fitri yang dapat diartikan “kembali suci atau bersih” setelah satu bulan penuh berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu. Mengisinya dengan berbagai aktifitas positif baik yang wajib atau sunnah, amal baik yang terkait dengan hablum minallah maupun hablum minannas.
Dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, sehingga pada hari raya 1 syawal ini disebutnya dengan Idul Fitri (kembali menjadi suci). Ada pula yang menyebutnya dengan “Hari kemenangan”, menang dengan siapa ? tentu jawabnya adalah menang melawan dengan hawa nafsu. Pertanyaan selanjutnya adalah layakkah kita menyandang predikat pemenang ?
Tak ada yang mampu menilai apakah kita sebagai pemenang sejati atau tidak melainkan dirinya sendiri, jika menjadi pemenang, pertanyaan berikutnya adalah berapa persentase kemenangan yang dicapai untuk melawan hawa nafsu ?
Hal ini penting untuk kita renungkan agar tahu posisi diri kita di peringkat mana, sehingga tidak terlena dalam kebahagiaan di hari “Idul Fitri” bersama sanak dan keluarga yang seakan kita “ menang telak di hari kemenangan ini 100 persen” , dan tidak ada gairah untuk menambah amal baik di hari yang lain.
Bilamana kita merasa masih banyak kekurangan ( merasa tidak menang saat Ramadhan di masa lalu ) , Maka masih banyak pintu-pintu kebaikan yang lain di bulan Syawal dan selanjutnya yang bisa diperbuat, seperti hadith Nabi Muhammad SAW yang artinya“ Barang siapa berpuasa Ramadhan dan menambah enam hari puasa di bulan syawwal, ia mendapat pahala seperti puasa setahun penuh, (HR; Muslim, Riyadh al-Shalihin, 356).
Ada pula puasa setiap hari Senin dan Kamis, dan puasa ayyam al-Bidh (hari putih atau terang bulan), yaitu tangal 13,14,15, setiap bulan komariya.
Perlu dicermati pengampunan dosa dalam hadith di atas, adalah khusus dosa terhadap Allah SWT (hablun minallah), tidak termasuk dosa terhadap sesama manusia (hablum minannas), oleh sebab itu di setiap bulan Syawal di Indonesia ada tradisi Halal bi Halal dalam rangka mohon maaf kepada sesama manusia karena merasa sudah berbuat dosa.
Walaupun istilah ini tidak ditemukan dasarnya secara langsung dari al-Quran maupun al-Hadith, dan tidak dijumpai di bangsa dan negara manapun.
Apa itu Halal bi Halal ?
Ustadz Fathul Chodir dari Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur menceritakan istilah Halal bi Halal dicetuskan pertama kali oleh KH Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Ketika itu Indonesia sedang dilanda disintegrasi bangsa, kemudian Bung Karno memanggil Kiai Wahab Chasbullah untuk dimintai saran dan pendapatnya untuk mengatasi situasi politik di Indonesia.
Akhirnya Kiai Wahab menganjurkan adanya Halal bi Halal diharapkan bisa lebih mempererat tali persaudaraan, kemanusiaan, dan persatuan kebangsaan. Saran tersebut dianggapnya sangat tepat dan setelah diadakan Halal Bi Halal, semua permasalahan bangsa dapat dikendalikan dengan baik.