Oleh : Dr. Muchammad Cholil, SH., MHum
Saat ini ummat Islam dihadapi beberapa issu persoalan yang harus diterima dan di dengar dengan arif bijaksana, senang tidak senang itulah tugas kita ummat Islam untuk merespon secara positif dan penuh optimis, dihadapi dengan akal sehat sesuai keadaan, dan tidak malah sebaliknya pessimistis, yang memunculkan beberapa opini dan pendapat, setidaknya akan memberi dampak bagi ummat Islam pada umumnya. sehingga nantinya melemahkan mental kita, hayo kita memulai hindari mengirim pesan fatalistik karena perbedaan mental, sebaliknya kita bikin suasana pikiran hati dan perasaan yang positif hal inilah akan menambah kekebalan tubuh.
Bentuk sebuah cobaan tersebut, sebenarnya telah di-ingatkan dalam QS Al-Hadid : 22-23 ”Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis didalam kitab (Lauhul Mahfud) sebelum kami menjadikannya, sungguh yang demikian itu mudah saja bagi Allah, agar kamu tidak bersedih hati, karena apa-apa yang telah luput daripadamu dan tidak merasa senang (bangga) dengan apa-apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan bangga”.
Didalam hidup ini sering dijumpai bermacam-macam problema, ada suka duka, bahagia derita, lega hati dan kecewa, sehat serta sakit silih berganti; Semuanya menuntut kekuatan mental yang kokoh, sebab tanpa modal kekuatan itu tentu kita bisa terambang ambingkan oleh tipu daya situasi kondisi yang ada, sebagai seorang muslim hendaknya menunjukkan kesabaran sehingga dapat melepaskan dari rasa keputus-asaan atau pessimisme dalam menghadapi persoalan yang menimpanya, hanya dengan berbuat sabar akan memperoleh kebahagiaan dan kemenangan, sebagaimana disebutkan didalam QS Ali-Imran : 200 ”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.
Dapatlah diambil suatu pelajaran bahwa untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat hendaknya harus melalui sabar, sehingga tak akan menjadi lemah jiwa seseorang dalam menghadapi berbagai musibah dan/atau cobaan; Bagitu pula dalam menunaikan ibadah puasa di bulan Rhamadlan, hal ini semata-mata untuk mendeteksi tingkat kepercayaan (iman), hal ini sebagai salah satu bukti kecintaannya kepada Allah Swt begitu kuat.
Melalui media berpuasa di bulan Rhamadhan ini telah meng-upgrade pribadi muslim menjadi pribadi mu’min, dengan menghadirkan serta meneguhkan basis iman, setiap muslim mampu menjaga diri dari pelbagai kema’siatan; Terdapat nilai-nilai moralitas Rhamadhan yang penting untuk tetap dipertahankan pasca Rhamadhan, yaitu :
Suasana Religius
Suasana yang bernuansa agama selama Ramadhan sangat terasa, di rumah lingkungan kita, tempat ibadah, bahkan di media cetak elektronik, semua tempat ibadah jamaahnya penuh saat Ramadhan, terasa ringan betul melangkahkan kaki bersama anak-anak ke masjid. Oleh karenanya marilah tetap kita hidupkan masjid-masjid kita dengan melestarikan shalat berjamaah di masjid dan/atau musholla lainnya.
Kemampuan mengendalikan diri
Esensi dari puasa adalah al-imsak, artinya mengendalikan diri, kemampuan pengendalian diri ini merupakan kunci sentral terwujudnya tatanan yang baik dalam masyarakat; Sebaliknya, kegagalan mengendalikan diri akan meninimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan; Misalnya seorang penguasa yang gagal mengendalikan dirinya, akan menyalahgunakan kekuasaannya.
Tidak heran KKN, masih marak di negeri yang mayoritas muslim ini, seorang pebisnis yang gagal mengendalikan diri akan melakukan berbagai cara pintas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, meskipun merugikan orang lain dan melanggar nilai-nilai agama, juga seorang remaja yang gagal mengendalikan diri dalam pergaulanmnya, akan terjebak dalam pergaulan bebas yang merusak moralitas dan masa depannya. Pelajaran pengendalian diri selama puasa Ramdahan hendaklah kita hidupkan setelah Ramadhan usai.
Kesadaran akan pengawasan Allah (ma’iyatullah).
Saat kita sendirian di suatu tempat yang tidak ada orang lain melihat, sebenarnya bisa saja makan atau minum dan kemudian berpura-pura puasa kembali, walaupun tidak ada orang yang tahu, tetapi hal itu tidak dilakukan karena orang-orang yang berpuasa sadar akan kebersamaan Allah dalam hidupnya, tetapi sadar bahwa Allah melihat kita; Berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk KKN, dikarenakan tidak adanya kesadaran pelakunya bahwa Allah melihat perbuatan dan tingkah lakunya.
Mereka merasa aman dapat merekayasa agar orang lain tidak tahu, agar terbebas dari pemeriksaan auditor; Padahal ada auditor Yang Maha Melihat yang mengawasi dan mengetahui seluruh perbuatan mereka; Sifat ini telah disebutkan di dalam QS AL-Hadid : 4 artinya “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Inilah sikap ikhsan, kalau sikap ini lestarikan khususnya oleh politisi, pejabat public dan pelaku bisnis, insya Allah berbagai penyimpangan yang terjadi akan bisa diminimalisir.
4. Kejujuran (Al-Shidqu)
Dimensi kejujuran dalam puasa sangat ditekankan, karena merupakan bukti paling urgent, seseorang dalam suasana taqwa dan sebagai gerbang menuju segala kebaikan, sedangkan ketidak jujuran akan membawa kepada pelbagai penyimpangan dan kejahatan. Orang harus berlatih untuk jujur, sekali dua kali dan seterusnya, sehingga ia dicatat oleh Allah sebagai pribadi yang jujur (As-Shiddiq), sedang jaminan dari Allah, bahwa orang jujur akan mujur, sedang yang tidak jujur cepat atau lambat akan hancur. Bukti empirik telah begitu banyak membenarkan korelasi ini.
5. Membersihkan diri (Al-Tathahhur)
Bagi yang menjalankan puasa dengan baik akan membersihkan dari segala noda dan dosa, sebab sebulan telah menjalani proses pembersihan yang menyeluruh; Hanya dengan cara demikian puasa seseorang diterima, dan do’anya dikabulkan. Kemudian bersama ‘idul fithri sepenuhnya kembali kepada kondisi fithrah. Adalah penting kita ingatkan kepada diri, janganlah apa yang sudah suci kita nodai lagi, sikap perilaku yang sudah bersih jangan kita kotori lagi, termasuk juga penghasilan yang sudah halal jangan sampai kita campuri lagi dengan yang remang-remang (syubhat) apalagi yang jelas-jelas haram.
6. Membanting tulang (Al-Mujahadah)
Dalam keadaan lapar dan dahaga memacu insan beriman untuk lebih giat lagi melakukan aktifitas seperti tilawatil quran dan kegiatan yang bemanfaat bagi kehidupan sosial, (shilaturahim, infaq shadaqah, mengajarkan ilmu, memberi makanan berbuka bagi yang puasa);
Mempertahankan surplus spiritual (Al-Faidhu wal Insyirah)
Puasa rhamadhan mendidik surplus spiritual dan moral, menjaga diri agar tidak terjebak pada kekerdilan jiwa dan kenihilan moral, juga mendidik para shaimin untuk mengokohkan jiwanya serta melapangkan dadanya, dengan menegaskan pada dirinya “inni shaimun” aku ini sedang puasa, ia mampu menggagalkan setiap provokasi negatif yang akan merusak hubungan sosial menjadi konflik yang menghancurkan semua pihak; Bahkan semakin surplus jiwanya insan puasa yang telah memantapkan statusnya sebagai “hamba Allah yang Rahman” sanggup membalas hal-hal yang buruk dengan kebaikan, tarikan negatif dengan ajakan yang positif. Ketika orang-orang jahil yang sedang jadi hamba syetan atau hawa nafsunya menyerang dengan ucapan yang tidak baik, tentu membalasnya dengan do’a keselamatan.
Dengan melestarikan nilai-nilai puasa rhamadhan serta moralitasnya, maka kehidupan kita pasca rhamadhan selama sebelas bulan akan tetap disinari dengan cahaya rhamadhan, sehingga kerahmatan Allah dan maghfirahNya senantiasa diberikan kepada siapa saja yang mampu mempertahankannya. Curahan berkah dari langit selama bulan rhamadhan akan berlanjut manakala kita memenuhi faktor-faktor yang menghadirkannya. Aamien. (*)
*) Penulis adalah Dosen fakultas hukum Universitas Darul Ulum Jombang
*) cholel.[email protected]