Oleh: Dr. H. Muhtadi, S.Ag, M.HI.
Hari yang terbaik dalam seminggu adalah hari Jumat, bulan yang teristimewa dalam setahun adalah bulan Ramadhan, bulan yang 10 hari pertama disebut dengan rahmah (kasih sayang), 10 hari kedua dikatakan maghfirah (ampunan), dan 10 hari terakhir dinamakan ‘Itqun minannar (terbebas dari api neraka).
Lailatul qadar merupakan “satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan”, menurut keterangan dari beberapa hadith Nabi Muhammad saw, dan pendapat para ulama, lailatul qadar terdapat pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Lailatul qadar ini, bukanlah cerita fiktif dari seorang penyair maupun sejarawan kondang, akan tetapi merupakan sari dari firman Allah SWT, surat al-Qadr ayat 3 yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap mukmin dan muslim sejati.
Tidak aneh jika kemudian Nabi Muhammad saw menyambutnya dengan antusias yang tinggi, dengan amal shalih yang super istimewa dibanding hari-hari sebelumnya. Misalnya nabi (tidak sendirian) membangunkan dan mengajak keluarganya di sebagian waktu malam untuk melakukan i’tikaf di masjid.
Menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat, dzikir, istighfar, berdoa, dan amal-amal shalih yang lain.
Dikisahkan bahwa Nabi Muhammad saw pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan lebih bersungguh-sungguh seperti dalam cuplikan hadithnya “syadda al-Mi’zar” yang secara etimologi berarti mingikat sarungnya. Namun secara terminologi berarti bersiap siaga (cancut taliwondo) untuk menyambut lailatul qadar, menggapai ridha Allah SWT (HR. Muttafaq Alaihi, Riyadhussalihin, 351).
Demikian halnya Rasulullah saw ketika bertemu dengan Malaikat Jibril di bulan Ramadhan, lebih dermawan dibanding hari-hari sebelumnya dan melakukan tadarus al-Quran (Rasul membaca Jibril mendengarkan atau sebaliknya).
Kata tadarus berasal dari kata kerja tadarasa, ya tadarasu, tadarusan yang mengandung faidah al-Musyarakah baina ithnain (melibatkan dua orang atau lebih).
Tadarus di mushalla, di masjid, atau di tempat lain, seharusnya demikian, ada satu yang membaca dan yang lain menyimak, sehingga jika terdapat kesalahan ada yang mengingatkannya.
Namun terkadang tadarus yang ada di mushalla dan masjid sekitar kita tidaklah demikian, satu yang membaca dan yang lain juga membaca sendiri, atau yang satu membaca yang lain bercanda dan bergurau di sebelahnya sambil main hp, makan dan minum, sehingga jika terdapat kesalahan tidak ada yang membenarkannya.
Sungguhpun itu tergolong ada sisi baiknya, mau tadarus di mushalla atau masjid, namun perlu diingat pesan Rasulullah saw, yang artinya “banyak orang yang membaca al-Qur’an yang tidak mendapat pahalanya, tapi justru mendapat laknatnya”.
(Maktabah syamilah, Faidh al-Qadir ala shahih al-Bukhari, Juz 1, Hal:227). Bisa dimungkinkan laknat itu disebabkan oleh bacaannya yang salah, tidak sesuai hukum tajwid, seperti panjang pendek maupun makharijul kurufnya dan ia tidak mau belajar.
Sabda Nabi Muhammad saw menganjurkan agar belajar al-Quran yang artinya “Sebaik-baik orang yang belajar al-Quran adalah yang mau mengajarkannya kepada orang lain”.(HR. al-Bukhari, Riyadhussalihin, 304).
Dahsyatnya lailatul qadar juga dibuktikan dengan kedermawanan Rasulullah saw yang diriwayatkan Tirmidzi.
“Dikisahkan bahwa pada saat itu Rasulullah yang sedang bersama Sayyidina Umar bin Khattab didatangi seorang lelaki. Seorang lelaki itu sengaja menemui Rasulullah untuk meminta sesuatu. Tanpa pikir panjang, Rasulullah langsung memberinya.
Keesokan harinya, hari kedua dan ketiga, namun sayang, pada hari ketiga itu Rasulullah tengah tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada lelaki itu. “Aku tidak mempunyai apa-apa sekarang.
Tapi ambillah apa yang engkau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai, kelak, aku akan membayarnya,” kata Rasulullah kepada lelaki itu, dikutip dari buku Samudra Keteladanan Rasulullah (Nurul H Maarif, 2017).
Demikian pula adanya, bahwa suatu saat Rasulullah pernah shalat malam hingga kakinya bengkak dan diketahui oleh istrinya tercinta Siti A’isyah seraya berkata Ya Rasulallah mengapa Engkau beribadah hingga bengkak pada bagian kaki, bukankah Allah SWT telah mengampunimu terhadap dosa-dosa yang lampau dan yang akan datang? Seraya Nabi Muhammad saw menjawab “bukankah apa yang aku lakukan ini, merupakan bagian dari rasa syukurku kepada Allah” ?.
Keteladanan Rasulullah saw tersebut sangat membekas pada jiwa dan pribadi para sahabat yang senantiasa ikut bersamanya dan melakukan apa yang pernah dicontohkannya.
Keteladanan yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, para tabi’in, dan atba’uttabi’in, hingga sampai kepada kita sekarang, terutama di dalam menyambut lailatul qadar di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Misalnya, justru pada saat musibah Covid 19 belum hilang secara total, banyak pimpinan pondok peantren, pengurus takmir masjid, dan mushalla yang mengadakan qiyamullail secara berjamaah di sepertiga malam terakhir disamping untuk meraih lailatul qadar juga berharap agar Firus Covid 19 segera berakhir.
Tidak ketinggalan pula beberapa lembaga sosial keagamaann, seperti Jamiyyah Nahdlatul ‘Ulama, Pemuda Anshar, IPNU, IPPNU, dan tokoh agama untuk memberi santunan terhadap anak yatim yang dikemas dengan mengadakan buka bersama.
Hal ini merupakan bentuk kepedulian terhadap fakir miskin, serta anak yatim yang pernah dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw pada masa hidupnya.
Namun tidak bisa dipungkiri pula, bahwa nilai spirtual dan sosial keagamaan tersebut (di daerah tertentu) sedikit banyak juga mengalami kemerosotan dan kemunduran.
Hal demikian lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang tidak dikendalikan oleh tokoh agama, tidak ada yang memberikan bimbingan dan bisa dijadikan sebagai tauladan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk menanggulangi bahaya dari pengaruh modernisasi maupun pergeseran budaya barat, setidaknya kita harus tetap mau belajar, berguru, dan mencintai para ulama’ (sebagai pewaris nabi), mempunyai guru yang membimbing kita menuju jalan yang baik dan benar. Mari kita sambut hari-hari terakhir di bulan Ramadhan tahun 1442 ini, dengan memperbanyak tadarus al-Quran, dan ber-istighfar.
Bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, memperbanyak shalat malam (qiyamullail), seperti shalat tasbih, shalat hajat.
Bentuk lain dari upaya meraih lailatul qadar adalah tradisi maleman, mengadakan sedekah (weweh) dengan saling memberi sesuatu terhadap kerabat, tetangga, dan sahabat yang lain. Sedekah ada yang berupa brekat (nasik dan lauknya), kue basah, aneka buah buahan. Namun beberapa tahun terakhir ini mulai banyak yang sedekah (weweh) berupa bahan mentahan seperti gula pasir, minyak goreng, ataupun kue kering yang dapat dihidangkan pada hari lebaran tiba. Konon hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya makanan yang mubadzir sehingga tidak termakan dan dibuang.
Banyak masyarakat yang menyadari bahwa membuang-buang makanan itu, tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, mengingat mubadzir itu bagian dari perbuatan setan.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran yang artinya “Sesuangguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya”, (QS, al-Isra’, 27).
Demikian, besar harapan kita semua dan dengan izin Allah SWT semoga kehidupan kita senantiasa sehat walafiat, berkah, dan manfaat. Dan semoga kita bisa meraih malam yang lebih baik dari 1000 bulan yaitu lailatul qadar. Amin Ya Rabbal Alamin. (*)
*) Penulis adala Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Darul Ulum Jombang
*) email : [email protected]