Merasa Bekal Mati Belum Cukup

Kajian Ramadhan, Diasuh Univ. Darul Ulum Jombang (16)

Merasa Bekal Mati Belum Cukup
Prof.Dr H. Tadjoer Ridjal Bdr

Oleh : Prof.Dr H. Tadjoer Ridjal Bdr

Jamaah shalat Dzuhur baru saja usai. Satu persatu anggota jamaah shalat pergi meninggalkan musholla, tak terkecuali anak-anak. Mereka pun berlarian meninggalkan rumah ibadah ini, untuk melanjutkan permainannya.

Terdengar di sela gelak tawanya, teriakan mereka seolah memberi informasi kepada temannya, “Nanti malam qunut, nanti malam qunut”.  Yang lain menimpali, “Ya… ya…”. anak lainnya menambahkan, “Aku gak bolong blas…(maksudnya: tetap berpuasa sampai hari ini)”.

Hampir semua warga desa, termasuk anak-anak, mengetahui kapan bacaan qunut dalam shalat Tarawih mulai dibaca. Ada tradisi di masyarakat desa ini  bahwa bacaan qunut dimulai pada Tarawih yang ke-15, atau puasa pada hari yang ke-14.

Dalam hal ini, bisa jadi anak-anak lebih dulu tahu daripada orang dewasa. Dengan kata lain, hanya orang dewasa tertentu saja yang memperhatikan kapan bacaan qunut dimulai.
Selebihnya, mungkin mengetahuinya dari percakapan anak-anak.
Sudah menjadi sifat anak. Mereka selalu menghitung hari demi hari perolehan jumlah hari puasanya.

Kembali kita tengok musholla sudut kampung ini. Jarum jam dinding menunjuk angka 12.45 wib. Langit sangat cerah, hanya sedikit awan putih yang tampak menggelantung di langit biru. Matahari memancarkan sinarnya dengan leluasa.

Masih tersisa satu orang anggota jamaah shalat. Laki-laki yang sudah memasuki usia tua. Usianya sudah lebih dari 70 tahun, pensiunan pegawai yang dulunya tiap hari berseragam dan memakai sepatu. Dia tampak enggan meninggalkan musholla. Duduk termenung, sambil bermalasan, pandangan matanya kosong. Dia sandarkan tubuhnya pada pilar teras musholla.

Sesekali dia tarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
Apa gerangan yang menyebabkan dirinya enggan pulang. Bukankah semua anggota jamaah shalat Dzuhur, termasuk anak-anak, sudah meninggalkan musholla? Apakah dia sedang ada persoalan keluarga, sehingga takut pulang? Kalau yang ini tidak mungkin, karena isterinya sudah seminggu ini menjenguk anaknya di lain kota yang sedang melahirkan. Atau, dia enggan masak untuk persiapan buka puasa. Yang ini pun mustahil.

Karena, keluarga orang ini tidak pernah masak sendiri, tetapi menyerahkannya pada jasa catering.
Akhirnya, terjawab apa yang menjadi renungan laki-laki yang merangkak menuju usia renta ini. Ternyata, dia merenungkan nasibnya. Nasib dirinya kelak ketika menghadap kepada Sang Maha Pencipta. Dia merasa bekal yang dimilikinya tidak mencukupi agar bisa terselamatkan di hari Pembalasan nanti.

Dalam bulan Ramadlan ini, dia gunakan untuk merenungkan nasib dirinya. Ramadlan juga digunakannya untuk mengingat kembali dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Bahkan, dia juga teringat melakukan perbuatan dosa, yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan, dosa-dosa itu tetap dilakukannya meskipun di hari-hari dalam bulan Haram. Dia menyadari bahwa dirinya telah berlaku angkuh dan sombong dalam berbuat dosa. Dia tahu — dari ceramah pengajian yang didengarnya — bahwa melakukan amal perbuatan di bulan Haram akan dilipatgandakan. Jika amal baik, pahalanya dilipatgandakan. Jika amal buruk, maksiat, dosanya juga dilipatgandakan.

Demikian isi ceramah yang pernah didengarnya.
Di sini, pada saat ini, di bulan Ramadlan ini, laki-laki yang menginjak renta ini, mengenang perjalanan hidupnya. Dia menghitung perolehan amal kebajikan yang telah ditabungnya selama lebih dari 70 tahun ini. Sesekali dia tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, “Ternyata, aku tidak bisa mengingat amal kebaikan apa saja yang telah aku perbuat. Amal kebajikan yang bisa aku banggakan”. Ya, laki-laki ini, yang tubuhnya masih tampak kekar dan berotot ini, ternyata matanya bisa berkaca-kaca.

Dia mencoba mengingat amal kebajikan, amal kebaikan, yang pernah dilakukannya. Dimulai dari amalan shalat. Shalat adalah amalan wajib bagi seorang muslim. Pada amalan ini, dia paksa dirinya untuk mengingat amalan pertama yang akan ditanya di akhirat kelak.

Dimulai dari masa awal kewajiban mendirikannya. Dia menyadari dan sepenuhnya menyadari bahwa pada masa awal-awal kewajiban mendirikan shalat, pastilah shalatnya tidak sempurna menurut syarat rukunnya. Bahkan, banyak shalat yang didirikannya melanggar waktu yang ditetapkan. Ada juga beberapa waktu shalat yang sengaja ditinggalkannya. Kalaupun ada shalat berjamaah, beberapa kali dia melakukan gerakan rukun shalat yang mendahului imam. Bahkan, dalam shalatnya — baik sendiri ataupun berjamaah — pikirannya tidak benar-benar fokus. Sehingga, dalam shalat pikirannya melayang ke mana-mana.

Karena tidak fokus inilah sering kali — terutama ketika shalat sendirian — lupa jumlah rakaatnya.
Belum lagi amal-amal perbuatan yang lainnya. Dia juga pernah membentak dan memarahi seseorang.

Dia juga pernah memarahi seseorang hanya karena pelampiasan. Menggunjing sudah sangat sering dilakukan. Berseteru dengan teman juga pernah dilakukannya. Membentak anak, dan juga isteri pun pernah dilakukannya. Menggerutu di hadapan orang tua — ketika muda dulu — juga pernah dilakukannya. Berbuat yang menjadikan orang tua marah dan sedih juga pernah dilakukannya. Dia juga pernah mendendam kepda rekan kerjanya dulu.

Dan, pernah juga dia membentak anak buahnya ketika masih berseragam dulu.

Di bulan Ramadlan ini, bulan yang penuh limpahan Rahmah dan Berkah ini, atau bulan “obral ganjaran” ini, betul-betul dimanfaatkan olehnya untuk menutupi kekurangan amal ibadahnya.  Dalam bulan Ramadlan, disebutkan bahwa amalan sunah diberi pahala seperti amalan wajib. Dan amalan wajib pahalanya dilipatkan 70 kali. Namun, dia menyadari sepenuhnya, dan mengakui kualitas ibadahnya, berapa kali lipat pun pahala amal ibadahnya ditingkatkan, rasanya tidak mungkin bisa mengungguli dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Mengapa?
Karena dia menyadari kualitas amal ibadahnya sangat rendah. Shalat tidak khusyu’. Amal-amalan yang lain masih diliputi riya.

Perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa tidak bisa dihentikannya. Perlu usaha keras untuk menahan laju dorongan nafsu amal keburukan yang bergerak laksana snowball rolling downhill.

Kalau sudah begini. Apa yang bisa kita andalkan. Pahala amal ibadah yang telah kita kerjakan, tidak mungkin kita hitung sendiri, dan memaksa Tuhan untuk menyetujui penghitungan kita. Tuhanlah yang paling tahu, berapa harga pahala yang pantas diberikan kepada kita dengan kualitas amalan ibadah yang seperti itu. Tapi, kita tahu berapa banyak dosa yang telah kita himpun setiap hari, karena dosa dalam pemikiran laki-laki tua itu, langsung dibayar tunai, tanpa melalui persyaratan yang rumit.

Dosa maksiat tidak perlu melalui seleksi ketat. Begitu selesai berbuat, langsung mendapat imbalan dosa. Sedangkan amal ibadah, pahala akan diperoleh setelah melalui seleksi persyaratan. Jika memenuhi syarat, akan mendapat pahala sesuai dengan takaran kualitas ibadahnya. Jika tidak memenuhi syarat, pastilah amal ibadahnya ditolak, dan pahala yang diharapkannya urung diterimanya.

Itulah berbagai pemikiran, harapan, kekhawatiran, ketakutan dan permohonan yang direnungkan laki-laki di serambi mushalla. Siang hari, di bulan Ramadlan, laki-laki itu berpandangan bahwa, “Tidak mungkin amal ibadahku bisa menyelamatkan aku di hari kemudian. Dosa-dosaku begitu banyak, dan amal ibadahku hanya sebegitu saja. Yang bisa menyelamatkan aku kelak di hari kemudian hanyalah pertolongan Allah SWT. Aku harus berusaha mendapatkan limpahan pertolongan, limpahan Rahmat dari Allah SWT. Aku menyadari, tidak mungkin aku hanya menyandarkan pada pahala amal ibadahku yang terbatas, sedangkan perbuatan dosaku terus menggelinding setiap saat.

Dalam kalut perenungannya yang sudah di batas akhir, dia teringat sabda Rasulullah, (yang artinya): “”Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang maha Rahman, yang memberikan berkat dan Mahatinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit.”

Dari sinilah, di bulan Ramadlan inilah, dia bertekad akan selalu berbuat baik kepada sesama. Akan selalu berusaha membantu meringankan beban sesama. Hindari perbuatan yang bisa membuat orang lain sedih, amarah, atau sakit hati. Inilah tekad laki-laki tua itu. Hanya ada satu tekad dan keinginan, yaitu memohon pertolongan dan Rahmat Allah SWT. Dia sadar, sesadar-sadarnya.

Bahwa, pahala amal ibadahnya dengan kualitas amal ibadah yang dirasakannya, dinilainya jauh dari mencukupi untuk membuka pintu keselamatan di hari kemudian. Dia pun yakin, seyakin-yakinnya, bahwa kemampuannya untuk bisa membuka pintu keselamatan di hari akhir kelak, hanya karena pertolongan Allah SWT.

Berkenaan dengan hal itu, si laki-laki tua ini ingat sabda Nabi yang pernah didengarnya dalam khotbah Jum’at beberapa tahun yang lalu. Sang khatib waktu itu berkhotbah, bahwa Pertolongan Allah kepada seseorang juga tergantung pada pertolongan yang dilakukannya antar manusia. Lalu, sang khatib menukil sebuah hadis (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama hamba itu menolong orang lain.” (Hadits Muslim, Abu Daud Dan Tirmidzi).

Dari sabda Nabi itulah dia sangat yakin bahwa Allah SWT akan memberinya pertolongan melalui kerelaannya memberi pertolongan kepada sesama. Dia bertekad untuk tidak lagi memusuhi siapa saja. Dia akan tinggalkan sikap sombong dan dendam yang pernah dimilikinya ketika masih perkasa dulu, saat dia masih berseragam dan memakai sepatu.

Semoga renungan laki-laki tua ini bisa menjadi pertimbangan kita untuk menatap masa depan yang sesungguhnya. (*)

*) Penulis adalah  Dosen Fakultas Sospol Universitas Darul’ulum Jombang.

*) [email protected]