Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi Wartatransparansi
Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah era Reformasi, bersamaan dengan keruntuhan era Orde Baru setelah berkuasa selama 32 tahun, maka upaya memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mencari kesamaan dalam menjaga dan mengawal kesatuan anak bangsa.
Ketika era Orde Baru dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) begitu massif sebagai penguatan kebangsaan. Kemudian dalam berbangsa dan bernegara ada pendalaman UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan era Reformasi membuat penguatan kebangsaan dengan Empat Pilar.
Sebuah pertanyaan besar? Setelah sudah berjalan lebih dari 20 tahun apakah sejak dilakukan melalui sosialisasi secara massal para wakil rakyat di DPR RI dan MPR RI, “Empat Pilar” sudah membumi atau masih di awang-awang. Bahkan terbang tidak mampu, menari-nari di udara juga tidak berdaya, sementara belum pernah turun mendarat dengan santun juga.
Empat Pilar selalu saja pada tataran sosialisasi, bukan implementasi kekuatan kebangsaan. Oleh karena itu, perlu semacam petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknik (juklak dan juknis) atau pedoman. Bagaimana anak bangsa atau masyarakat mengimplementasikan Empat Pilar sebagai penguatan kebangsaan.
Mengapa? Sebab agenda reformasi utama yaitu, penegakan supremasi hukum dan pemberantas korupsi, boleh dikatakan gagal total.Justru kondisi sekarang ini korupsi dan mengkereilkan hukum semakin membudaya. Bahkan dengan sandaran atau acuan demokrasi, hampir seluruh tatanan kehidupan berubah menjadi kekuasaan model baru dengan sistem “suap menyuap” semakin menjadi model kehidupan baru.
Indonesia dengan memiliki Empat Pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Empat pilar tersebut merupakan komitmen kebangsaan yang harus terus ditingkatkan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri bangsa.