Oleh: Oki Lukito
MediaTransparansi – Sejumlah regulasi yang digulirkan rezim Poros Maritim diantaranya Permen KP 02 Tahun 2015 yang melarang penggunaan jaring pukat karena dianggap tidak ramah lingkungan, telah mengusik perekonomian masyarakat persisir. Di satu sisi secara tidak langsung regulasi tersebut menyabotase program pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (sustainable ) atau dengan kata lain mendistorsi upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi satu ruangan yang harmoni dan sinergi.
Regulasi tersebut berdampak ratusan ribu nelayan cantrang terpuruk, ribuan pekerja Unit Pengolahan Ikan terancam mengganggur, pabrik pengolahan ikan mengalami kelangkaan bahan baku. Jasa nelayan yang selama ini memberikan andil besar membangun ekonomi masyarakat pesisir dan mengakselerasi sektor perikanan nasional, begitu saja dilupakan dan ditinggalkan. Sementara alternatip usaha yang diluncurkan seperti mengganti jaring cantrang dengan jaring milenium, bubu, pancing dianggap tidak efektif dan efisien.
Hasil uji coba jaring milenium di Probolinggo dan Madura kepulauan tidak membuat nelayan untung, sebaliknya jadi buntung. Hasil uji coba di perairan Probolinggo selama 10 hari melaut dengan menggunakan jaring milenium hanya mendapat ikan dengan nilai Rp 7 juta, biaya operasional menghabiskan hampir Rp 20 juta. Sementara nelayan yang terbiasa menggunakan jaring cantrang untuk satu trip (15 hari melaut) saat musim ikan memperoleh 14 ton ikan senilai Rp70 juta (harga ikan Rp 5000/kg) dengan biaya melaut Rp 25 juta.
Pemprov Jawa Timur hendaknya segera mengambil langkah darurat untuk menyelamatkan sekitar 38 ribu ABK mengawaki 4.600 Kapal Ikan Cantrang yang kehilangan mata pencaharian utama, termasuk ribuan pekerja industri pengolahan perikanan setingkat UMKM yang terdampak langsung kebijakan pemerintah yang melarang secara permanen penggunaan jaring cantrang, dogol, colok dan payang.
Faktanya hasil tangkapan nelayan menurun di hampir semua sentra perikanan tangkap. Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, Kabupaten Trenggalek misalnya, tahun 2015 sebesar 24 ribu ton, tahun 2016 hanya 4.300 ton sementara di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali, turun hingga 50 persen pada 2016, dari 17.000 ton menjadi 7.000 ton.
Di Tempat Pelelangan Ikan Tasik Agung, Kabupaten Rembang salah satu pusat perikanan tangkap terbesar di Jawa Tengah juga mengalami hal serupa, bahkan kodisinya lebih parah. Sejumlah warung makan dan warung kopi tutup karena sepi pembeli. Penghasilan Toko Klontong yang biasa menjual peralatan kapal dan bahan baku untuk melaut turun drastis. Omzet anjlok dari rata-rata Rp 2 juta per hari menjadi hanya Rp 300 ribu per hari.
Demikian pula halnya yang dialami pabrik daging ikan lumat alias surimi mulai lumpuh akibat kelangkaan bahan baku seiring dengan larangan penggunaan alat penangkap ikan cantrang mulai 1 Januari 2017. Setidaknya tiga pabrik surimi di Jawa Tengah dan Jawa Timur setop berproduksi sejak awal bulan ini karena kesulitan memperoleh bahan baku dari hasil tangkapan cantrang. Kalaupun ada, harganya menjulang tinggi.