MediaTransparansi – Hitungan Pilgub Jatim masih sekitar 18 bulan lagi. Geliat tokoh yang namanya disebut maju untuk memperebutkan kursi Jatim 1 mulai terlihat. Salah satunya mencari ‘kendaraan’ partai sebagai parpol pengusung.
Namun dari kesemuanya, sejumlah partai masih terlihat jaim (jaga image). Sejumlah nama dimunculkan dengan alasan masuk radar survei internal. Mungkin ini sebuah penjajakan terhadap calon.
Menurut Pakar Komunikasi Politik Unair, Suko Widodo, ini merupakan langkah wajar. Setiap partai melakukan test water semacam monitoring terhadap nama yang diterima masyarakat.
Menurut Suko, pada Pilgub Jatim 2018, akan ada tiga poros partai yang siap menjadi kendaraan. Yang pertama adalah PKB yang memiliki 20 kursi dan siap mengusung calon sendiri. Berikutnya ada PDIP yang memiliki 19 kursi. Sisanya adalah milik partai tengah.
Lantas siapa yang dibidik partai tersebut? Suko meyakini bidikan tersebut bakal dipastikan di ujung waktu atau injury time. “Kalau sekarang masih lama, tradisi Indonesia menunggu injury time,” ujarnya.
Bahkan PKB yang dari awal mendeklarasikan mendukung Halim Iskandar juga memungkinkan akan mendukung calon lain.
“Partai akan test the water. Dilihat siapa yang berpotensi besar meski ada putra mahkota. Contoh Ahok yang awalnya dari Golkar beralih ke Gerindra dan sekarang didukung PDIP,” paparnya.
Sehingga, menurut Suko, semua berpeluang memilih siapa saja tokoh yang namanya muncul di permukaan saat ini. Saat ini, disebut-sebut ada empat tokoh yang bakal meramaikan pilgub Jatim. Yakni Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Ketua DPRD Jatim Halim Iskandar, Mensos RI Khofifah Indar Parawansa dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Bagaimana dengan kabar merapatnya Gus Ipul ke PKB bahkan akan bergandengan dengan Halim Iskandar? “Ya mungkin saja, partai kan melihat siapa yang berpeluang menang,” jawab dosen FISIP Unair itu.
Sedangkan peluang Khofifah diusung koalisi partai tengah juga cukup besar mengingat popularitas tokoh ini cukup tinggi, termasuk Demokrat di dalamnya. Menurutnya, peluang itu mungkin saja karena politik tidak ada ‘musuh abadi’. Di Indonesia tidak ada koalisi ideologi tetapi koalisi kemenangan.
“Semua mungkin saja. Tradisi kita yang penting menang dan partai berpikir lebih realistis,” ujarnya.(zal/abn)