Komunikasi Ketupat

Komunikasi Ketupat
Syarifuddin

Oleh : Syarifuddin (WartaTransparansi.com)

Hari ini tanggal 8 Syawal 1441 Hijriyah bertepatan dengan Minggu, 31 Mei 2020, sebagian besar umat Islam merayakan Hari Raya Ketupat, setelah menyelesaikan puasa sunnah 6 hari sejak hari ke-2 Hari Raya Idul Fitri.

Bagi masyarakat muslim Jawa, ada beberapa makna menamakan Hari Raya Ketupat. Pertama, menyempurnakan dan menyelesaikan ibadah puasa gabungan puasa wajib Ramadhan dan puasa sunnah Syawal dengan pahala 1 tahun penuh. Pada saat itulah diyakini terlah tercapai derajat kesempurnaan sehingga disebut “kaffah”

Kaffah secara bahasa artinya keseluruhan. Makna secara bahasa tersebut bisa memberikan gambaran bahwa sebagai Muslim yang Kaffah, yakni menjadi muslim yang tidak “setengah-setengah” atau menjadi muslim yang “sungguhan,” bukan “muslim-musliman.”. Keseluruhan juga mengandung makna kesempurnaan, sehingga menyempurnakan ibadah puasa untuk mendapat pahala 1 tahun, sekaligus menjaga predikat orang beriman yang bertakwa sebagaimana janji Allah SWT bagi yang mampu menyelesaikan kewajiban ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan.

Kaffah dengan makna sempurna atau menyempurnakan ibadah puasa, hingga memenuhi pahala 1 tahun itulah dalam dialog Jawa disebut sebagai kupat/Ketupat. Oleh karena itu, dikenal dengan nama Hari Raya Ketupat (Rioyo Kupat, Jawa)

Sebagaimana ajaran Islam bahwa puasa Syawal merupakan puasa sunah enam hari yang dikerjakan pada bulan Syawal. Salah satu keutamaan bagi umat yang mengerjakan puasa ini adalah akan mendapat pahala seperti berpuasa selama setahun penuh. Sebagaimana hal ini sudah disabdakan oleh Rasulullah SAW sendiri, yang berbunyi,

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian ia ikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, ia akan mendapat pahala seperti puasa setahun penuh”. (HR Muslim).

Dalam filosofi Jawa yang dikenalkan sejak jaman kerajaan Demak bahwa umat Islam mempunyai dua hari raya; ba’da Ramadhan dan ba’da Syawal. Dua hari raya dengan simbol kupat (Kaffah, sempurna) dengan bentuk persegi dan lepet (lontong bungkus dari daun kelapa), makanan khas dari bahan beras ketan bentuk seperti keris menandakan bahwa lepet (lepat/kelepatan/kesalahan), sehingga “kupat lepet” ialah kesempurnaan melebur semua kesalahan. Inilah kehebatan “komunikasi ketupat”, sebuah kesempatan umat Islam menjaga persaudaraan sesama muslim supaya sama-sama halal dalam melanjutkan berbagai aktifitas ibadah diwujudkan dalam ritual Hari Raya Ketupat yang bisa dilakukan sepanjang bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa sunnah 6 hari.

Menurut Rogers dan D. Lawrence Kincaid
Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau pertukaran informasi dengan satu sama lain, yang pada gilirannya akan tiba di saling pengertian luas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita dari dua orang individu atau lebih agar pesan yang diberitakan tersebut bisa dipahami oleh lawan bicara.

Komunikasi massa adalah proses di mana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik)

Organisasi-organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat.

Dalam komunikasi massa, media massa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak

Hari-hari ini, dua pemimpin wanita hebat bermartabat sama-sama memimpin dari kota Surabaya, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, berselisih paham soal penanganan Covid-19, maka jalan terbaik perempuan dari Lamongan dan Kediri, melakukan komunikasi ketupat, apalagi hari ini awal Hari Raya Ketupat.

Sebagaimana filosofi Hari Raya Ketupat yang menyempurnakan ketidakharmonisan atau kesalahan masa lalu dan masa kini, maka harus segera dilakukan komunikasi saling meminta maaf dan saling memberi maaf. InsyaAllah akan menjauhkan dari emosi dan gengsi yang merugikan, mendekatkan pada keridloan dan rahmat yang menjadi barokah serta manfaat untuk umat.

Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.

Warna kuning pada janur dimaknai de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Di NU Online dituliskan, dalam sejarahnya lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan Shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim. Sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.

Versi lain menyebutkan, lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri; dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Dewi Sri dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran.

Sungkeman dan Halal Bihalal
Pada perayaan Idul Fitri dalam tradisi jawa, tradisi halal bihalal dalam keluarga besar biasa dikenal dengan istilah “sungkeman”. Tradisi ini pada umumnya dilakukan di kalangan kerabat dekat saja. Inti dari acara sungkeman adalah saling meminta maaf antar kerabat. Sungkeman tidak hanya dilakukan dengan berjabat tangan. Ada sejumlah prosedur tertentu yang perlu dilakukan pada acara sungkeman ini.

Sungkem dilakukan secara terurut dari yang dituakan. Misal dalam keluarga besar ada Kakek, Nenek, Budhe (kakak dari ibu atau bapak), Paklik (adik dari ibu atau bapak), Anak Budhe, Anak Paman.

Urutan sungkeman adalah, Budhe sungkem ke Kakek, lalu ke Nenek; Paman sungkem ke Kakek, lalu ke nenek, lalu ke Budhe. Anak Budhe sungkem ke Kakek, lalu ke nenek, lalu ke Budhe, lalu ke Paman dan hingga semua anggota keluarga besar sudah sungkeman.

Kemudian, barulah halal bihalal dilanjutkan dengan berkunjung ke tetangga. Setelah sungkeman selesai, semua keluarga kembali bergabung dan menikmati sajian lebaran yang telah dipersiapkan, biasanya ketupat.

Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah serta khilaf antar keduanya terhapus.

Lebaran ketupat kepada umat Islam, yang semuanya diyakini merupakan tuntunan yang luhur untuk bagaimana menjadi pribadi yang baik dan luhur di kemudian hari. Ada istilah ‘sayur tanpa garam akan terasa hambar”, demikian kiranya masyarakat Jawa memaknai Idul Fitri tanpa Lebaran ketupat, lebaran ketupat merupakan tradisi baik yang telah lama mengakar kuat dalam benak masyarakat muslim Jawa. Harapanya tradisi yang telah lama terjaga ini tetap bisa dilestarikan, dengan begitu mampu menjadi salah satu budaya keislaman yang tidak punah dari tanah Jawa dan seluruh nusantara .

Khofifah dan Risma boleh jadi sama-sama marah atau sama-sama menjaga gengsi, tetapi guna menyelamatkan bangsa dan negara dari perpecahan para pemimpin yang menjadi suri tauladan masyarakat, maka perlu melakukan komunikasi ketupat. Saling memohon maaf dan memberi maaf. Kupat Lepet sebagai simbol saling meleburkan diri dalam semua kesalahan dan kekhilafan, akan membawa keduanya menuju gerbang surga dunia dan surga di akhirat. Surga dunia insyaAllah mampu mengalahkan Corona dan Surga di akhirat berharap semua mendapat barokah dari upaya meleburkan kesalahan dan kekhilafan. (din)