Masjid dan Pesantren Dimasa Pandemi

Masjid dan Pesantren Dimasa Pandemi
Zahrul Azhar As'ad

Oleh : HM. Zahrul Azhar As, Sip , MKes (Wakil Ketua Gerakan Ayo Mondok PP RMI NU Jatim)

MUNGKIN ada sebagian yang bertanya kok yang dibahas hanya masjid plus pesantren, kok tidak membahas mall atau bandara ? Ada agenda apa ini ? , jawabannya sangat simpel, saya hanya membahas apa yang saya cintai seperti halnya ketika saya PDKT denga teman kuliah. Yang saya pikirkan ya selalu dia, bukan yang lain . Simpel kan ?

Sejak awal pandemi masjid menjadi objek issue yang menjadi perhatian khusus semua pihak  saking perhatian nya sampai ada yang mengkait-kaitkan dengan agenda agenda tertentu, namun ada yang mungkin luput dari perhatian publik adalah pesantren.

Masjid dan pesantren sama sama memiliki fungsi keagamaan dan sama sama tempat berkumpulnya orang banyak namun memiliki ritme aktifitas berbeda berkaitan dengan potensi penyebaran virus yang cepat dan mudah menjalar ke orang lain.

Aktifias di masjid hanya terjadi pada jam jam tertentu dan puncaknya ada pada kegiatan sholat Jumat yang biasanya jumlahnya jamahnya bisa 10 kali ipat dari sholat sholat rawatib.  Rata rata pertemuan antar jamaah pun skitar 7 – 15 menit.

Lalu apa alasan lain, kenapa para tokoh agama menganjurkan untuk sholat dirumah ? Bisa jadi yang dilihat bukan hanya aktifitas nya didalam masjid saja tetapi potensi interaksi disaat perjalanan pulang dan menuju masjid juga harus diperhitungkan resikonya.

Selain itu dengan sistem Sanitari dan tempat wudhu yang sebagian masih menggunakan kolam bisa menjadi media berpindahnya  virus ke tempat inangnya yang baru.

Sementara di pesantren Aktifitas perjalanan hanya dilakukan sakali saja dari rumah ke pesantren dan dilanjutkan dengan Aktifitas komunal yang khas di pesantren. Sehingga permasalahanya tidak pada perjalananya tetapi Aktifitas dan riwayat apa saja yang telah dilakukan selama dirumah masing masing terutama para santri yang berasal dari zona merah?.

Apakah semua santri yang jumlahnya ratusan ribu akan dirapidtest semuanya ? Belum lagi kita tahu tentang akurasi rapid test yang rendah.  Lantas siapa yang bisa menjamin meraka datang tanpa membawa oleh oleh mematikan tersebut ? .

Kehidupan di pesantren  yang sangat komunal dan selalu bersama sama, ini akan menjadi media yang sangat subur untuk berpindahnya virus menemukan inang inang yang baru. Yang harus difikirkan bukan bagaimana mengembalikan para santri ke pesntren nya tetapi bagaimana memastikan mereka clear dan dalam prosesnya giat nyantri nya dapat menjalankan protokol kesehatan ?

Pola kesehajaan dengan niat tirakat yang membuat Mereka bisa nyaman tidur ber 12 dalam kamar yang sempit, pada umumnya dalam kehidupan ponpes, para santri pun biasa menggunakan nampan dan wadah minum yang sama tanpa ada rasa risih. Jelas ini jauh dari protokol kesehatan dalam memutus mata rantai covid 19.

Protokol kesehatan pesantren bisa berjalan dengan baik sangat bergantung dari ketegasan dan uswah dari pengasuh nya masing masing , protokol ini selain harus merubah habit juga harus didukung dengan infrastruktur yang memadai, dalam hal ini pemerintah harus hadir.

Dalam sebuah diskusi antar pengasuh pesantren ada bebrapa pengasuh yang mengatakan bahwa dia akan memertimbangkan memangggil santrinya atau tidak bukan berada pada keputusan PSBB pemerintah, karena mereka menganggap PSBB bukanlah murni melihat faktor kesehatan dan keselamatan nyawa para santri tapi sudah tercampur dengan kepentingan ekonomi, sosial dan bahkan citra politik.

Beberapa yang lain memilih untuk tetap memasukkan santrinya karena berfikir mafsadah (keburukan) pada akhlak yang akan timbul jika para santri tidak segera kembali ke pesantren.

Ternyata memikirkan pesantren tidak sesimpel memikirkan masjid, karena memang bentuk Aktifitas nya berbeda.

Pemerintah Harus Hadir

Banyak permaslaahn yang akan ditimbulkan dalam setiap keputusan yang diambil. Maju kena mundur kena.  Jika diputuskan menerima santri maka resikonya adalah keselamatan nyawanya , jika diputuskan tidak menerima Santri maka resikonya adalah pada keselamatan ahlak para santri dan juga yang mungkin agak tabu untuk dibicarakan adalah dampak ekonomi bagi para guru guru ngaji yang selama ini mengabdi di pesantren.

Jika opsinya adalah menerima para santri untuk kembali maka pemerintah harus  hadir dalam bentuk pembuatan protokol dan penyediaan fasilitas sanitasi yang memadai. Ini tidak seberapa jika dibanding kan dengan alokasi dana ratusan triliun yang banyak diarahkan pada sektor pemulihan ekonomi. Bukankah pesantren juga berperan dalam kemerdekaan negeri ini ?

Jika opsinya adalah belum menerima para santri maka pemerintah kita harus memikirkan bagaimana acara para santri tetap bisa tersambung secara daring sehinga masih bisa melanjutkan proses belajar mengajar dari rumah masing masing walau pasti dengan kualitas yang menurun.

Selain itu pemerintah tidak boleh abai untuk memikirkan bagaimana nasib para guru ngaji dan ustad yang selama ini terlibat dalam membimbing santri .

Masalah pandemi ini memang rumit dan akan makin rumit jika pemerintah masih jalan sendiri sendiri tanpa ada road map yang jelas serta tidak mau melibatkan unsur masyarakat, pemerintah seyogyanya melibatkan ormas ormas yang memiliki akar kuat hingga kebawah misalnya muhamadiyah atau nahdlatul ulama.

New normal itu bukan lah slogan semata  tetapi sebuah tatanan budaya hidup baru yang akan bisa terlaksana jika semua unsur masyarakat dilibatkan secara masiv.

Semoga masjid segera dapat beroperasi dalam konsep new normal.

Semoga para kiyai dan santri segera bisa kembali mengaji walau dengan sedikit perubahan dalam pelaksanaan nya serta mampu bisa menjadi penggerak terwujudnya new normal yang menjauhkan dari konsep herd imunity yang beresiko tinggi.

Semoga pemerintah bisa fokus menyelesaikan masalah pandemi ini tanpa dibumbui kepentingan kepentingan politik yang tidak berlandaskan nilai nilai kemanusiaan. (*)