Oleh : Syarifuddin (WartaTransparansi.com)
Sejak KH Abdul Wahab Chasbullah memberikan jawaban kepada Presiden Soekarno yang ingin menyatukan umat Islam beserta umat beragama lain dalam suasana keagamaan dalam kemasan nasionalisme.
Maka ketika itu lahirlah sebuah silaturrahmi dalam pertemuan warna kebangsaan bernama “Halal bi Halal”.
Halal bi Halal tidak hanya menjadi satu-satunya tradisi umat Islam secara nasional, tetapi tidak dikenal di dunia internasional. Bahkan ajaran umat Islam paling modern pun tidak mengenal silaturrahmi dalam pertemuan besar dengan menyatukan umat Islam maupun kepentingan lain dalam kasanah persatuan dan kesatuan.
Dalam perkembangan berbangsa dan bernegara, Halal bi Halal menjadi salah satu acara nasional sebagai kelanjutan tradisi setelah Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya Ketupat. Bahkan dalam kurun waktu yang tidak terbatas pada bulan Syawal saja. Yang intinya saling memberi maaf dan memaafkan.
Di Era Orde Baru maupun Era Reformasi, Halal bi Halal semakin berkembang menjadi budaya baru perekat kebangsaan nasional. Hal itu sebagai perwujudan Pancasila ;
Sebagaimana butir-butir sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
(Nomor 1). Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Butir-butir sila ke-3 Pancasila, “Persatuan Indonesia” dengan mewujudkan;
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(3) Mengembangkan persatuan dan kesatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(4) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan berkaitan dengan butir-butir sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ialah perwujudan;
(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Sebagaimana dilansir dari “NUOnline” Penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Dimana setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa.
Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun. Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan.
Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan.
Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal'”, jelas Kiai Wahab. Dari saran itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul “Halal bi Halal’” dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.
Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sampai sekarang.
Begitu dahsyat Halal bi Halal menjadi perekat kebangsaan, berbangsa dan bernegara, maka jika pada Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriyah bersamaan masa pandemi virus Corona menyebar ke seluruh dunia, dan Indonesia sudah masuk negara dengan kasus positif Covid-19 sudah mendekati 25 ribu dan kematian 1300 lebih, maka upaya melakukan Halal bi Halal virtual mudah-mudahan hanya sebagai pengganti sementara dari kegiatan silaturahmi yang terbungkus dalam balutan teknologi digital di tengah upaya pembatasan fisik yang tengah menjadi kebijakan.
Tetapi jika “Halal bi Halal Virtual” menjadi tradisi baru, maka akan merusak nilai persatuan dan kesatuan bangsa dalam nafas dan kebhinnekaan yang indah dalam silaturrahmi kebangsaan. Pertemuan silaturrahmi dengan menyatukan semua kepentingan nasional menjadi satu irama dalam orkestra. Layaknya orkestra tidak akan sempurna apabila terdapat elemen nada yang tertinggal.
Ingat! Menghancurkan silaturrahmi kebangsaan dengan mengubah tradisi yang sudah mengakar sama dengan membumihanguskan nilai-nilai perekat nasional berbangsa dan bernegara. (din)