Banyuwangi – Festival Kuwung yang digelar di Banyuwangi, Sabtu malam (8/12), berlangsung meriah. Festival Kuwung, sebagaimana namanya yang berarti pelangi, menghadirkan beragam seni budaya yang tumbuh di seluruh pelosok Banyuwangi.
Festival yang dibuka Bupati Banyuwagi Abdullah Azwar Anas tersebut menampilkan mulai dari budaya Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) hingga budaya dari berbagai pelosok yang banyak menunjukkan hibriditas budaya.
Koreografi bertema “Teji Setro Asnawi” umpamanya. Tari yang dibawakan para seniman dari Kecamatan Bangorejo dan sekitarnya itu mengisahkan tumbuhnya seni jaranan di Banyuwangi.
Digambarkan tokoh bernama Asnawi yang merupakan pendatang dari wilayah Mataraman (Jawa Timur bagian barat) mengembangkan seni jaranan dan reog ke Banyuwangi. Jaranan pun berkembang dengan cita rasanya tersendiri karena telah terpaut dengan unsur seni Blambangan, kerajaan awal mula Banyuwangi
Hibriditas kebudayaan tersebut, menurut Anas, sebagai perlambang dari inklusivitas warga Banyuwangi. “Orang Banyuwangi tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya. Keanekaragaman itu mampu diolah menjadi modal sosial dalam memajukan daerah,” ujar Anas.
Kreativitas dan keterbukaan tersebut, lanjut Anas, menjadi watak dasar warga Banyuwangi yang menjadikannya individu yang inovatif. “Spirit inovasi inilah yang terus kita bangun dalam menata Banyuwangi ke depan,” ungkapnya.
Kebudayaan Banyuwangi tak hanya berangkat dari cipta karsa Suku Osing. Perjumpaannya dengan seni budaya dari daerah lain menjadikannya lebih beragam. Proses adaptasi dan inovasi dari perjumpaan kebudayaan tersebut menumbuhkan tradisi seni budaya baru seperti yang tersaji di Festival Kuwung
Seperti sendratari berjudul “Paseban Agung Kedhaton Manikjingga”. Fragmen ini mengisahkan perkembangan seni janger Banyuwangi. Sentuhan kebudayaan Bali dalam pertunjukkan tersebut tak lain berangkat dari kreativitas Mbah Darji dari Banyuwangi dalam mengadaptasi seni Arja dan Ande-Ande Lumut dari pulau seberang tersebut.