Kediri  

Korban Pengeroyokan di Kediri Justru jadi Tersangka, Proses Hukum Dipertanyakan

Kasus Janggal di Kediri, Korban Pengeroyokan Justru jadi Tersangka, Begini Kronologinya

Korban Pengeroyokan di Kediri Justru jadi Tersangka, Proses Hukum Dipertanyakan
Sumadi sedang menunjukan surat pemanggilan tersangka dan SP2HP dari kepolisian di kediamannya (Foto: Moch Abi Madyan)

KEDIRI (WartaTransparansi.com) – Kasus dugaan pengeroyokan yang menimpa Sumadi (59), warga Kelurahan Ngayam, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, kini memasuki babak baru yang mengejutkan.

Peristiwa pengeroyokan yang terjadi pada 17 Oktober 2024 kini tengah dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Kediri.

Namun, anehnya, Sumadi yang mengaku sebagai korban justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Kediri Kota dengan jeratan Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan.

Sumadi mengungkapkan keterkejutannya saat menerima surat panggilan dari penyidik Polres Kediri Kota pada 2 Februari 2025. Tak berselang lama, pada 6 Maret 2025, dirinya resmi ditetapkan sebagai tersangka, dan pada 12 Maret 2025 mendatang, ia dijadwalkan untuk dimintai keterangan sebagai tersangka.

“Saya benar-benar kaget dan tidak habis pikir. Saya yang jadi korban pengeroyokan, tapi justru dijadikan tersangka. Padahal yang menganiaya saya saat ini sedang menjalani sidang di pengadilan,” ujar Sumadi dengan nada heran, Senin 10 Maret 2025.

Kronologi Kejadian

 

Sumadi menjelaskan bahwa kejadian bermula pada 17 Oktober 2024 sekitar pukul 09.00 WIB. Saat itu, ia sedang berada di lahan miliknya yang terletak di RT 01, RW 04, Kelurahan Ngayam, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Ia memasang sebuah banner bertuliskan larangan menempati lahan miliknya.

 

Tak lama setelah memasang banner, ia didatangi oleh Teguh Suwito bersama sembilan orang kerabatnya yang membawa senjata tajam berupa golok, parang, dan balok bambu. Mereka dengan nada tinggi meminta Sumadi untuk mencopot banner tersebut. Namun, Sumadi menolak karena merasa lahan tersebut adalah miliknya.

“Saya tidak menggubris mereka karena lahan itu milik saya. Tapi mungkin karena saya tidak menurut, mereka langsung melakukan pengeroyokan,” tutur Sumadi.

Akibat kejadian tersebut, Sumadi mengalami luka parah dengan darah mengucur dari kepalanya. Ia tak berdaya menghadapi sembilan orang yang menyerangnya.

“Saya pasrah, saya sendirian dan mereka sembilan orang membawa senjata tajam. Saya tidak bisa melawan,” imbuhnya.

Setelah kejadian, Sumadi langsung melaporkan insiden pengeroyokan tersebut ke pihak kepolisian. Laporan itu berlanjut ke persidangan, dengan beberapa terdakwa di antaranya Teguh Suwito, Mujianto, dan Tegar Esa Dofitra.

Kejanggalan dalam Penanganan Kasus

Yang membuat Sumadi semakin bingung, meskipun ia telah melaporkan pengeroyokan tersebut dan perkaranya telah masuk ke pengadilan, ia justru mendapatkan status tersangka atas tuduhan penganiayaan.

“Banyak saksi yang melihat kejadian itu, bahkan ada rekaman CCTV. Tapi mengapa saya justru yang ditetapkan sebagai tersangka?” Kata Sumadi.

Karena merasa diperlakukan tidak adil, Sumadi berencana mencari keadilan dengan meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ia berharap pendampingan hukum dapat membantunya mengungkap kejanggalan dalam kasus ini.

“Saya akan terus berjuang agar keadilan bisa ditegakkan. Saya tidak ingin menjadi korban kriminalisasi,” tegas Sumadi.

Pihak Kepolisian Angkat Bicara

M. Fatur Rozikin, Kasat Reskrim Polres Kediri Kota, memberikan penjelasan mengenai kasus Sumadi yang berstatus korban namun berbalik menjadi tersangka.
Iptu M. Fatur Rozikin Menanggapi Kasus Sumadi di Kediri (Foto: Moch Abi Madyan)

Menanggapi hal ini, Kasat Reskrim Polres Kediri Kota, Iptu M. Fathur Rozikin, membenarkan adanya perubahan status Sumadi dari korban menjadi tersangka. Menurutnya, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan hasil pendalaman penyidikan.

“Kalau ada laporan, kewajiban kami menindaklanjuti. Dalam hal ini, yang bersangkutan memang melapor, tetapi di sisi lain juga menjadi terlapor berdasarkan hasil penyidikan yang telah dilakukan, lengkap dengan barang bukti medis dari pihak dokter,” kata Iptu M Fathur.

Terkait dugaan adanya rekaman CCTV yang disebut bisa menjadi bukti, Iptu Fathur menyatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari proses penyidikan.

“Yang jelas, dalam kasus penganiayaan ada bukti visum. Sedangkan CCTV itu bagian dari proses penyidikan,” kata Iptu M. Fathur.

Kasus ini pun menjadi sorotan publik, terutama terkait objektivitas dalam penegakan hukum. Masyarakat berharap agar pihak kepolisian dapat bersikap profesional dan memastikan proses hukum berjalan adil bagi semua pihak.(*)

Penulis: Moch Abi Madyan