Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M.Si
(Dosen Psikologi dan Antropologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI)
Seorang penumpang pesawat yang mengaku ateis sering menyatakan ketidakpercayaannya pada Tuhan di ruang publik dengan argumen filsafat Barat. Berbagai narasi disampaikan untuk meyakinkan orang lain bahwa percuma meyakini adanya Tuhan karena memang tidak ada. Baginya, Tuhan hanyalah ilusi manusia untuk menutupi kelemahan. Namun, saat pesawat mengalami turbulensi hebat, semua penumpang spontan berseru memohon pertolongan kepada Tuhan.
Sang ateis pun mengalami kegelisahan batin luar biasa, ingin meminta pertolongan tetapi tak tahu kepada siapa. Meminta pertolongan seperti orang beragama tidak mungkin karena dia terlanjur menolaknya. Setelah turbulensi reda, ia merenung bahwa, dalam hati kecilnya, ia juga menginginkan “tangan tak tersentuh” yang bisa menolong—sesuatu yang oleh orang beragama disebut Tuhan.
Dari kejadian ini, tampak bahwa tidak ada manusia yang benar-benar menolak keberadaan Tuhan. Jika pun tak menyebutnya “Tuhan,” tetap ada keyakinan pada Dzat Maha Mutlak. Sejatinya, manusia adalah makhluk spiritual, hanya saja ada yang dengan sadar menolak Tuhan karena tak mampu memahami hakikat keberadaan alam semesta.
Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam bukunya, Islam Agama Peradaban, membagi ateisme menjadi tiga jenis: ateisme falsafi, yaitu penolakan Tuhan berdasarkan argumen filsafat; ateisme polemis, yakni tuduhan ateisme terhadap orang atau kelompok lain karena perbedaan pemahaman agama; dan ateisme terselubung, yakni mereka yang mengaku beriman tetapi dalam tindakan tidak mencerminkan kepercayaannya.