Abu juga mengungkapkan pentingnya dokumentasi dalam proses rukyat. Ia meminta seluruh tim di daerah untuk merekam pergerakan teleskop sebelum, saat, dan setelah matahari terbenam sebagai bahan verifikasi ilmiah.
“Kita ingin data yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan jika hilal tidak terlihat, tetap harus ada laporan lengkap yang dikumpulkan dan dilaporkan ke pusat,” katanya.
Selain itu, ia menginstruksikan Kantor Wilayah Kemenag untuk menyiapkan alat pemantauan dan mendaftarkan kegiatan rukyat ke pengadilan agama setempat. Jika ada peralatan yang rusak, ia meminta agar segera dilaporkan ke pusat untuk ditindaklanjuti.
Dalam pelayanan umat, Abu menekankan pentingnya komunikasi yang baik kepada masyarakat dan media. Ia meminta agar informasi mengenai rukyatulhilal disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga tidak menimbulkan kebingungan.
“Jangan sampai masyarakat bertanya-tanya, kenapa rukyat tetap dilakukan jika hilal di bawah ufuk? Di sinilah peran kita untuk menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari verifikasi ilmiah, sekaligus wujud kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah saw.,” tegasnya.
Ia menambahkan, Kemenag berkomitmen untuk terus menggelar rukyatulhilal dengan standar ilmiah yang tinggi serta pendekatan yang inklusif. “Dengan begitu, penentuan awal bulan hijriah di Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari ibadah, tetapi juga kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan harmonisasi keberagaman umat,” tandasnya dikutip dari kemenag.go.id
Rakor ini dihadiri oleh Direktur Urusan Agama Islam Arsyad Hidayat, Kepala Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah Ismail Fahmi, serta para Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kemenag se-Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, dibahas kesiapan pelaksanaan rukyatul hilal di 33 titik nasional. Sementara itu, Bali tidak melaksanakan rukyat karena bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi. (ais/din)