SURABAYA (WartaTransparansi.com) – Kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis beritajatim.com dan Suara Surabaya yang sedang melakukan liputan demo menolak revisi UU TNI, jelas bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers yang dilindungi undang-undang. Tidak hanya bagi jurnalis atau lembaga pers, tetapi juga masyarakat yang berhak untuk tahu informasi terkini.
“Ironisnya, kekerasan ini justru terjadi, tak lama setelah Polri menyampaikan komitmen akan mengusut teror di Redaksi TEMPO. Artinya, Polri masih belum memahami esensi di balik dua peristiwa ini,” terang Hendro D. Laksono, Ketua Dewan Pakar IKA Stikosa AWS, Rabu (25/3/2025).
Baik dalam kasus teror di Redaksi TEMPO maupun kekerasan terhadap jurnalis beritajatim.com dan Suara Surabaya, kata Hendro, sejatinya sama-sama bicara tentang gagalnya perlindungan terhadap kerja jurnalis. “Keduanya bermakna teror dan pembungkaman. Sama-sama penghianatan terhadap kebebasan pers,” tegasnya.
Mentor jurnalistik dan media digital Surabaya ini kemudian mengingatkan bahwa kerja seorang jurnalis jelas-jelas dilindungi undang-undang. Dalam UU No 40 tahun 1999 ditegaskan jika kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Pers nasional juga berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Pasal 8 tegas menyebutkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” kata Hendro.
Di luar itu, lanjut dia, seorang jurnalis berperan sebagai mata dan telinga masyarakat. Dengan kebebasan pers, informasi yang penting tentang kebijakan pemerintah, kondisi sosial, ekonomi, hingga isu hak asasi manusia dapat diakses oleh publik.
“Kebebasan pers adalah pilar utama dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Tanpa pers yang bebas, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat, transparan, dan berimbang,” terang Hendro.