Oleh. H.S. Makin Rahmat
(Santri Embongan Ponpes Darul Musthofa, Wartawan Utama, Ketua Forum Pemred SMSI Jatim)
MARHABAN ya Ramadhan. Hampir tiap bulan Ramadan datang umat Islam terlarut dalam suka cita. Sebaliknya, tidak sedikit hambaNya yang mengaku dirinya beriman, hanya hormat secara formalitas. Awal begitu antusias ikut jamaah tarawih di akhir Ramadan pindah ke mall.
Padahal, Allah SWT dzat Yang Maha Pengatur alam semesta, telah menempatkan puasa (Ramadan) begitu istimewa dan khusus. Sangat disayangkan, bila kita berpuasa di bulan Ramadan hanya memperoleh lapar dan dahaga.
Dalam konteks seruan, tentu semua sudah sangat paham dengan firman Allah SWT di QS Al Baqarah (2) 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Bahkan dalam hadits Qudsi, Allah berfiman: “Semua amal anak Adam utk dirinya sendiri kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”. Allahuakbar Walillahilham.
Keistimewaan lain dari Ramadan, selain kepedulian terhadap sesama (sadaqah) paling afdlol di bulan Ramadan. Sesuai sabda Rasulullah SAW, disebutkan, “Umrah pada bulan Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Muslim no. 1256). Dalam lafaz Bukhari,
“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadan seperti berhaji bersamaku” (HR. Bukhari no. 1863).
Dari literasi keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadan, muncul pertanyaan dan patut menjadi perenungan bersama, pantaskah kita menganggap Syahrul Ramadhan, penghulunya bulan bila dianggap biasa-biasa saja? Padahal Allah Azza wajalla sendiri sudah berkomitmen menjadikan puasa Ramadan preogratif Sang Khaliq.
Diakhir ulasan Al faqir ini, adalah janji untuk mewujudkan bahwa orang yang berpuasa akan sehat, sesuai hadits:
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah kamu, maka akan sehat”. Dalam tinjauan ilmu kedokteran, puasa memiliki manfaat bagi kesehatan. Secara medis, orang yang akan melakukan operasi diminta untuk berpuasa.
Jadi, daya pikir dan perilaku kita harus menjadikan sebuah terobosan dalam hidup, meraih kesuksesan. Ada semangat hidup dan menghidupi. Dalam logika tindakan, sudah mampukah kita selaku hambaNya untuk meng-Allah-kan Allah, memanusiakan manusia dan mengalamkan alam.
Pantaskah kita meraih Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia dari seribu bulan, jika kita sendiri masih tertatih-tatih. Bahkan menganggap Ramadan sebagai beban. Nauzubillah mindalik.
Jika sudah terbukti, puasa mampu detoksifikasi tubuh, membantu regenerasi sel, memperkuat sistem kekebalan tubuh, mengontrol gula darah, mengurangi peradangan, meningkatkan kesehatan jantung, meningkatkan fungsi otak, membantu menurunkan berat badan, meningkatkan hormon pertumbuhan, dan membantu mencegah kanker, lantas bagaimana dengan puasa kita.
Manfaat ini akan didapat jika orang tersebut konsisten terhadap makna puasa tadi. Oleh sebab itu, tetaplah berpuasa (mengekang syahwat) meskipun telah berbuka dan diterapkan di sebelas bulan usai Ramadan.
Mari bersama-sama menjadikan puasa Ramadan sebagai batu loncatan meningkatkan derajat ketakwaan kita. Mampu meraih Lailatul Qadar dan prilaku hidup sehat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam bish-showab. (*)