Ekbis  

Kekeringan Ancam Industri Sawit Hingga 4,6 Miliar Dolar, Smart Research

Konferensi ICOPE 2025 di Bali

Kekeringan Ancam Industri Sawit Hingga 4,6 Miliar Dolar, Smart Research
Institute Kembangkan Solusi Berbasis Genetik

BALI (WartaTransparansi.com) – Ancaman kekeringan semakin nyata bagi industri kelapa sawit di Indonesia. Beberapa wilayah dengan tingkat defisit air tinggi, seperti Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, mengalami penurunan produksi signifikan akibat kurangnya pasokan air yang cukup.

Berdasarkan data dari SMART Research Institute, defisit air yang tinggi dapat menyebabkan
penurunan produksi sawit hingga 8-10% per tahun. Jika kondisi ini terus berlanjut, total
potensi kerugian bagi industri bisa mencapai 4,6 miliar dolar AS per tahun.

“Perubahan iklim semakin sulit diprediksi, dan dampaknya terhadap sektor perkebunan sangat
besar. Oleh karena itu, kami mengembangkan solusi berbasis genetik untuk menciptakan bibit
sawit yang lebih tahan terhadap kekeringan,” ujar Reni Subawati, peneliti dari SMART
Research Institute.

SMART Research Institute telah mengembangkan metode seleksi tanaman berbasis Drought
Factor Index (DFI) dengan memanfaatkan teknologi Chlorophyll Fluorescence. Teknik ini
memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi tanaman yang memiliki tingkat toleransi
lebih tinggi terhadap kondisi kekeringan dengan cara yang lebih cepat dan efisien.

Setelah melakukan penelitian selama lebih dari satu dekade, tim peneliti berhasil menguji
1.400 progeni dari 113 famili bibit sawit. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan 14 kandidat
varietas toleran, dengan dua varietas unggulan yakni SD14 dan SD63.

Hasil uji lapangan di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa kedua varietas ini mampu
menjaga tingkat produksi lebih baik dibandingkan varietas konvensional. Pada kondisi
kekeringan ekstrem seperti yang terjadi pada 2014 dan 2015, SD14 mampu meningkatkan
hasil produksi 14-22%, sementara SD63 meningkatkan hasil panen 13-27% dibandingkan
tanaman sawit yang lebih sensitif terhadap kekeringan.

Meski demikian, varietas ini tidak sepenuhnya tahan terhadap kekeringan. Reni menjelaskan
bahwa SD14 dan SD63 dikategorikan sebagai varietas dengan toleransi sedang (intermediate
tolerant), yang berarti bahwa meskipun tetap mengalami penurunan produksi saat
kekeringan, angkanya jauh lebih rendah dibandingkan varietas biasa.

“Kami tidak bisa menjanjikan varietas yang 100% tahan kekeringan. Namun, dengan
menggunakan varietas ini, penurunan hasil produksi akibat kekeringan dapat ditekan secara
signifikan,” jelasnya.

Saat ini, SD14 telah menjalani sidang pelepasan varietas dan mendapat rekomendasi dari Tim
Penilai Pelepasan Varietas (TPPV). Proses administrasi final masih berlangsung, dan
diharapkan varietas ini segera mendapat persetujuan resmi dalam waktu dekat.

Selain memberikan solusi bagi perkebunan sawit yang terdampak kekeringan, penelitian ini
juga menjadi langkah penting dalam menjaga stabilitas ekonomi industri kelapa sawit
nasional.

Dengan penurunan hasil panen yang lebih terkendali, potensi kehilangan pendapatan akibat kekeringan dapat ditekan secara signifikan.

“Ke depan, kami berharap lebih banyak pihak yang dapat mengadopsi teknologi ini agar
dampak kekeringan terhadap industri sawit dapat diminimalkan. Dengan inovasi berbasis
sains, kita bisa menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih baik,” beber Reni. (fir/min)