Membidik Peran “Raja” Meremot Pilkada Serentak

Membidik Peran “Raja” Meremot Pilkada Serentak
H.S. Makin Rahmat

 H.S. Makin Rahmat – Pemerhati Politik/ Santri Embongan

KEPUTUSAN Pemerintah menggelar Pemilukada serentak pada Rabu, 27 November 2024 merupakan sensasi hidup berdemokrasi di Indonesia. Bumbu sedap dan aroma persekongkolan menimbulkan gesekan bukan hanya antar parpol, sesama internal partai saling sikut untuk merebut rekomendasi.

Faktanya, rebutan rekomendasi, mandat dan negoisasi alot, membuat alur dan biaya pesta rakyat tidak terkendali. Jujur, pelaksanaan Pilpres, Pileg dan DPD tahun 2024 yang penuh akrobatik hukum, mencerminkan perilaku politikus meraih tujuan, sebagai pengendali bukan pengayom masyarakat. Ada raja-raja baru berkuasa dan merekayasa sesuai selera.

Terlepas dari pro kontra, sebagai rakyat taat hukum harus mengakui kedigdayaan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka meraup 96,2 juta lebih suara (58,58%), disusul Anis Baswedan – Muhaimin Iskandar dapat suara 40,9 juta (24,95%) dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD 14,6 juta (9,65%).

Siapa yang berperan sebagai remot kontrol, di era Z bukan hanya netizen, buzzer, dan inflenzer, kalangan melek IT gampang menduga. Ya, hanya sebatas kasak-kusuk. Hanya bisa berharap sesuai firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS at-taubah {9}:119).

Menilik hasil perolehan suara parlemen, PDIP mampu di urutan pertama dengan 25,3 juta suara (16,72%), disusul partai Golkar 23,2 juta (15,28%), Partai Gerindra 20 juta (13,22%), PKB 16,1 juta (10,61%). Menyusul, Partai Nasdem (9,65%), PKS (8,42%), dan PAN (7,23%) bisa melenggang ke Senayan serta PPP (3,87%) harus rela hengkang dari kursi DPR. Partai lain yang gagal, PSI, Partai Perindo, partai Ummat, PBB, PKN, partai Buruh, Partai Hanura, dan Partai Garda. Itulah episode gambaran perjalanan bangsa 2024-2029.

Terkait dengan Pemilukada serentak, mampukah negara ini menuju Bangsa yang berdikari, mandiri, dan mencusuar dunia 2045 sebagai era Indonesia emas? Tentu bukan sekedar hasil survei dan elektabilitas, ada gairah nafsu demokrasi yang bisa mengacak-acak komposisi bakal calon, baik di Pemilukada Gubernur, dan Bupati/ Walikota. Inisiator Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dimotori Gerindra, juga belum bekerja sebagaimana skenario. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) usai memutuskan batasan usia bagi Kepala daerah dan prosentase suara yang bisa mendaftarkan bacagub, bacawali dan bacabup.

Tentu pertarungan bukan hanya sekedar lolos administrasi, suara nyaring masih terdengar adanya mahar politik, strategi kampanye melalui tim sukses (TS) dan ugo rampe yang hampir dipastikan menguras pundi-pundi dana puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.

Bagi yang berjiwa independen, menginginkan pemilu jujur, adil (jurdil) dan damai biaya begitu fantastis tidak mendidik rakyat melek politik. Sebaliknya, bagi pencoleng demokrasi, hajat lima tahunan merupakan momentum merebut proyek siluman yang sulit terendus oleh aparat penegak hukum (APH). Mengapa? Karena sinyalemen yang sulit dibuktikan, oknum APH lah yang ikut bermain atas perintah raja-raja yang memerintah.

Sekali lagi dalam proporsi hidup berdemokrasi, bukan sekedar teori. Siapa menyangka Anies Baswedan yang digadang-gadang tampil kembali di Pemilukada Gubernur DKI dari PDIP malah tersingkir oleh Pramono Anung dan Rano Karno. Begitu juga di Jatim, skenario Pemilukada Gubernur Jatim terindikasi melawan bumbung kosong berubah dinamis muncul tiga Srikandi sebagai Cagub, Khofifah, Tri Rismaharini (PDI-P, Hanura dan Partai Ummat) dan dan Luluk Nur Hamidah (PKB). Belum lagi, 5 daerah di Jatim hanya Paslon tunggal yaitu Gresik, Trenggalek, Ngawi, Kota Pasuruan dan Kota Surabaya.

Artinya, gambaran Pemilukada di Jatim dan daerah lainnya khususnya DKI Jakarta adalah bentuk dari pertarungan kepentingan siapa yang menjadi pemodal sebenarnya. Apakah ada peran asing, Aseng atau pemodal dalam negeri yang berpraktek seperti juragan dengan jongos. Wallahu a’lam bish-showab. (*)