Bermula dari seorang tukang ojek. “Pak rumahnya yang mana?” tanyanya waktu mau mengantar paket.
“Itu yang pagernya abu-abu,” jawab saya.
“Disini gak ada rumah yang pagernya abu-abu!” sahut si tukang ojek itu.
“Ada!” tandas saya dengan nada tinggi. Bagaimana tidak ada, lha wong itu rumah saya sendiri. Dari dulu juga catnya udah abu-abu.
“Gak ada!” sanggahnya lagi dengan berani dan yakin
Saya rada kesal juga. ”Ya udah, tunggu di tempat saja. Biar saya keluar!” bantah saya, mulai sewot.
Waktu pintu pagar saya buka, si ojek ternyata ada pas di depan rumah saya. Di depan pagar! Saya jadi agak emosional. Ini orang mau ngeledek atau ngajak berantem.
“Pager segini gede masa gak kelihatan!” semprot saya.
Eh, dia bukannya menyadari kesalahannya, malah seperti menantang. “Ini pager bukan warna abu-abu, Pak!” ujarnya.
Saya terperangah. Dari dulu dibuat juga udah warna abu-abu.
“Ini pager warna coklat!” katanya lagi. Lantas, tanpa banyak cingcong lagi, Dia menyerahkan paket kirimannya, dan ngacir begitu aja.
Seperginya si ojek, saya perhatikan lagi pagernya. Memang jelas semula pager ini berwarna abu-abu, saya gak salah, tapi ruoanya sebagian besar warnanya sudah tanggal. Tinggal warna besinya yang terlihat. Warna coklat. Pantas si tukang ojeknya bilang pagernya warna coklat.
Walaupun tukang ojek tidak sepenuhnya benar, karena masih jelas terlihat sisa-sisa warna abu-abu, tapi dia tetap ada benarnya. Pager sudah mencoklat.
Waktu saya ceritakan kejadian itu kepada isteri saya, dia malah tertawa! Menertawakan saya. Dari sanalah kami sepakat mencat ulang pager rumah.