Prodi AP Umsida Gandeng Pusat Studi Kebijakan Publik Gelar FGD Transformasi Kampanye Politik

Prodi AP Umsida Gandeng Pusat Studi Kebijakan Publik Gelar FGD Transformasi Kampanye Politik

Sebagai pengamat politik, Nanang juga menyampaikan bahwa kampanye di kampus dan lewat media sosial menjadi senjata yang ampuh untuk menggaet pemilih, khususnya pemilih muda dan menguasai total pemilih pada pemilu nanti.

Selain itu, kampus juga diperbolehkan menjadi ruang kampanye atau ruang dialog bagi capres cawapres hingga calon anggota legislatif (caleg) karena mahasiswa merupakan salah satu golongan pemilih terbanyak di Pemilu 2024.

“Saya harap pihak aktor politik dan partai dapat memanfaatkan media sosial untuk menuangkan maupun menyampaikan ide dan gagasnya. Media sosial bukan hanya dimanfaatkan sebagai absen kegiatan sehari-hari bacaleg saja tapi beradu ide, program serta gagasannya.” harapnya.

Sementara itu, Isnaini Rodiyah yang melihat tema besar ini dalam kacamata akademisi menyampaikan bahwa, pemilu terbesar di dunia adalah pemilu serentak di Indonesia. Secara definisi, pemilu adalah suatu pilar dalam sistem demokrasi Indonesia. Dalam pemilu, warga negara memilih wakil-wakil mereka yang mewakili kepentingan masyarakat.

Namun, lanjut Isnanini, dirinya menegaskan, bahwa kampanye pemilu yang terjadi di Indonesia masih dilakukan dengan konvensional dalam bentuk arak-arakan, orasi di depan masa, spanduk, baliho, banner,dan disinyalir kurang ramah lingkungan.

“Kampanye berdampak punya dampak negatif pada lingkungan, anggaran dan intergritas politik. Kenapa demikian, karena pemasangan spanduk dan banner sebagai sarana utama kampanye memerlukan dana yang tidak kecil. Yang sering kali diperoleh dari uang pinjaman dari pihak-pihak tertentu.” terangnya

Isnaini menilai banyaknya calon yang kampanye di media sosial akan memberikan pendidikan politik bagi publik, membangun persepsi dan pilihan masyarakat , baik itu dari sisi positif atau negatif. Hal tersebut dibuktikan dari meningkatnya penyebaran hoaks atau misinformasi yang terus mengalami peningkatan jelang Pemilu 2024 seperti yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Maka kampanye melalui media sosial sebagai area kontestasasi antar para aktor dan partai politik.

Isnaini menambahkan bahwa penggunaan media sosial saat kampanye bukan isu yang baru mencuat dipermukaan. Bahkan media sosial turut menyumbangkan kemenangan kepada Donald Trump dalam pemilu AS tahun 2016 lalu. Sederhananya Trump lebih pintar menfaat media sosial twitter dengan menunjukan perhatiannya terhadap isu terkini dan sikap transparannya. Kuatnya media sosial dalam membangun publik figure, di pemilu amerika serikat tahun 2016 lalu, menjadi praktek nyata melalui digitalisasi dalam terbukanya dunia politik. Maka hal ini, seharusnya mampu direplikasi oleh aktor politik dan partai politik di Indonesia.

Hendra Sukmana, Sekretaris Program Studi Administrasi Publik, juga menyampaikan pandangannya bahwa, transformasi pemilu yang lama melakukan pendekatan konvensial, sedangkan masa kini lebih memanfaatkan media sosial. Saat ini, untuk menjadi anggota DPRD adalah salah satu cita-cita bukan mimpi semata.

“Semoga dengan diadakannya kegiatan forum ini dapat berguna dan menghasilkan diskusi kritis bagi mahasiswa dan bisa meningkatkan kualitas retorika mahasiswa kedepannya.
“tutup Hendra. (*)