Belajar Jadi Santri Mbah Hasyim

Belajar Jadi Santri Mbah Hasyim
H.S. Makin Rahmat

H Samiadji Makin Rahmat (Santri Pinggiran, Wartawan UKW Utama dan Ketua SMSI Jatim)

SALAH Satu nasehat Abah Al Faqir adalah berkhidmat di Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Sepintas arahan tersebut sekedar petuah agar anaknya bisa belajar berorganisasi dan beramaliyah Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja).

Ternyata setelah usia lebih 54 tahun dan goncangan dunia global begitu dahsyat karena berbagai-bagai pengaruh dan kepentingan, saya bersyukur bisa mengikuti nasehat beliau. Walaupun tidak masuk dalam struktur organisasi, yang penting merasa menjadi muridnya Hadratus Syech Mbah Hasyim Asy’ari.

Al Faqir sendiri merasakan konsep kehidupan bernegara dan beragama saling bergandengan dengan istilah ukhuwah Basyariah, ukhuwah Wathaniyah dan ukhuwah Islamiyyah yang dilebur menjadi ukhuwah An Nahdliyah. Trilogi ukhuwah mampu teraplikasi dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, bernegara dan keberagaman Indonesia dari suku, agama, ras, dan budaya yang memiliki potensi luar biasa dalam menyatukan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tentu Al Faqir tidak mengulas tuntas tentang ke-NU-an karena memang belum maqomnya. Sekedar nostalgia, pernah merasakan Diklat di Basic Training level IPNU hingga mengikuti Madrasah PKNU (Pendidikan Khusus NU) sebagai syarat masuk dalam struktur organisasi NU. Intinya, bukan ambisi menjadi pengurus khawatir nanti hanya ‘Numpang Urip’ sebagaimana kekhawatiran almaghfirullah yarham KH Hasyim Muzadi, mantan Ketum PBNU.

Al Faqir lebih sreg membicarakan sosok ulama besar Almaghfirullah yarham Hadratus Syech Hasyim Asy’ari, warga Nahdliyyin nimbali Mbah Hasyim. Ulama khos dan muassis NU KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman).

Walaupun Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah. Motto tersebut masih sangat relevan untuk situasi kekinian maupun akan datang. Menggabungkan kekuatan
agama dan nasionalisme saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air membutuhkan nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Kondisi saat ini telah bermunculan faham yang mencap sebagai kelompok Aswaja, tapi meninggalkan kultur kebangsaan. Mereka seakan-akan menjadi penerus sah dan keabsahan dalam menjalankan syariat Islam, tapi lupa dengan nilai-nilai keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia.

Sekali lagi, mengutip ular-ular (nasehat) orangtua ikut manut ulama beneran bisa selamat. Sedangkan mengikuti ajakan ulama yang hanya bisa berhujjah dan menyebar dalil tanpa amaliyah dan pekerti Akhlakul Karimah bakal celaka. Sesuai pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas sosial kehidupan.

Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sepatutnya agama berperan dalam realitas kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas di Indonesia merupakan bangsa majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Kegigihan melawan dan mengusir penjajah ditegaskan Mbah Hasyim sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum beragama yang terjajah.

Jika saat ini kita sudah merdeka dan berdaulat namun belum terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka kewajiban seluruh rakyat untuk kembali pada usaha ikhtiar ikhlas mencintai bangsa Indonesia. Sandaran Mbah Hasyim, tentu melihat kemaslahatan yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.

Bagaimana dengan kondisi sekarang? tentulah mengisi kemerdekaan sesuai kemampuan dan keahliannya. Bagi politikus yang sudah berada di kursi parlemen atau duduk manja di partai, bikin komitmen dan UU yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak kalah penting, birokrat yang sudah nangkring di posisi penting, bikin rakyat gemuyuh (senyum) dengan layanan publik sederhana tanpa ada pungli dan KKN.

Dalam dimensi pribadi, cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan memberikan manfaat bagi umat.

Tanah air sebagaimana yang kita ketahui adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”

Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman tinggal di dalamnya, merindukannya ketika jauh, mempertahankannya saat diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah menjadi tabiat dasar manusia.

Cinta tanah air dalam al-Qur’an dan menurut para ahli tafsir, sesuai firmanNya; “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): “Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66)

Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, “Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah pada jiwa manusia.

Sedang cinta tanah air dalam hadits diriwayatkan sahabat Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.” (HR. Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)

Bagi Al Faqir, belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya. Bagaimana dengan kita? Tentu andalah yang bisa menjawab dengan bukti kecintaan terhadap negeri ini, bukan sekedar bisa mencaci maki, tapi dengan akal sehat dan budi pekerti luhur. Wallahu a’lam bish-showab. (*)