Sepakbola identitas
Untungnya Qatar tidak termasuk negara buzzerokrasi, suatu sistem negara atau masyarakat yang dikendalikan oleh para buzzer. Sehingga peragaan sportivisme, sepakbola beradab, bahkan sepakbola dakwah Maroko tidak dijuluki “sepakbola identitas” yang diframing secara negatif.
Coba di negara buzzerokrasi, Maroko pasti akan langsung dihujat, dicaci maki, dibully, digayang, diharu-biru. Dibuat keder, kecut dan tersipu-sipu.
Kalau ditanya apa itu sepakbola identitas? Para buzzer pasti tidak akan mau menjawab. Entah pura-pura budek atau akan balik bertanya, “Lu siapa?”. Karena para buzzer itu memang tidak punya target ilmiah. Targetnya itu muntahan ucapannya bisa membuat orang lain sakit, marah, emosi atau takut. Buzzer itu tak beda antara ngomong dengan muntah dan meludah.
Target para buzzer bukan otak melainkan untuk menggelapkan hati orang lain karena buzzer sendiri bertindak dari gelapnya hati.
Kalau ditanya mengapa hanya Maroko yang disebut sepakbola identitas yang diframing secara negatif? Meskipun di Qatar setiap tim sepakbola membawa dan menjunjukkan identitas masing-masing. Para buzzer bisa dipastikan akan diam. Pura-pura budek.
Yang demikian itu modus yang dipakai para buzzer memframing Islamphobia dengan istilah radikal, intoleran, teror. Teror pun juga macam-macam. Dang kadang teror asin, dang kadang teror penyet sambal trasi.
Para buzzer itu akan bungkam jika sudah diajak masuk pada kawasan ilmiah. Tetapi mereka akan terus berteriak-teriak. Mereka itu seperti burung gagak. Meskipun suaranya memekakkan telinga, tetap saja berkaok-kaok. Diamnya hanya saat asyik makan bangkai.
Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu)
*) Penulis adalah wartawan senior tinggal di Sidoarjo