Banyak solusi yang dilakukan Ebes Sugiyono. Di antara mendorong berdirinya sasana tinju. Tinju itu tempat menyalurkan dan membina potensi keberanian, kejagoanan Arema. Sugiyono sendiri mendirikan Sasana Gajayana yang dengan pelatih legendaris Abu Dhori yang menelorkan juara seperti Juhari (OPBF), Solikin, Kid Hasan, Little Holmes.
Ada sasana Arema yang didirikan Tjipto Murti dengan pelatihnya Wa Sui yang menelorkan juara seperti Monod, Little Pono. Sasana Swunggaling Malang dengan manajer Petrus Setyadi Laksono yang menelorkan juara OPBF Wongso Suseno, Wongso Indrajid, Suwarno Perico alias No Pecel, Hengky Gun.
Disusul sasana Javanoea pimpinan Eddy Rumpoko dengan pelatih Mufid yang melahirkan juara WBF Nur Huda. Sasana Satria Yuda pimpinan Luky Acub Zainal dengan pelatih Ingger Kailola. Edy Sugiarto mendirikan sasana Alamanda yang melahirkan juara Mulyanto, Hudi.
Abu Dhori kemudian melepaskan diri dari Gajayana dengan mendirikan Dhori Gymnasium. Ia melatih tidak hanya pentinju Malang ia juga melatih petinju Papua yang dikirim Sugiyono yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Papua (Irja) seperti Yudas Mofu, John Hamadi.
Selain tinju, Ebes juga mengembangkan sepak bola yaitu Persema. Dengan pemain seperti Maryanto, Suparman, Sutrisno, Cilak, Hary Ratu, Hartoyo, Gusnul Yakin, Aji Santoso sempat masuk Divisi Utama. Setelah tidak ada Ebes di Malang, Persema kurang bisa menyerap Aremania karena ada perbedaan paradigmatik.
Manajemen Persema menggunakan paradigma birokratis, sementara Arema itu menggunakan paradigma partisipatif. Pada masa itu terjadi semacam dikhotomi state (negara) dengan society (masyarakat). Karena saat itu, mengikuti pendapat ilmuwan politik David E Apter, ideologi negara dijadikan agama politik (pilitical religion)
Ebes Sugiyono
Adalah Ebes Sugiyono bersama mantan Wagub Papua Acub Zainal dan Siwo PWI Malang seperti Abas Prabowo, Anwar Hudijono, Heroe Yogie, Agus Purbianto, Suyitno, Wiharjono, Sentot Setiyono, Mondry. Pengusaha Derek Sutrisno, penyiar Radion Senaputra Ovan Tobing. Dua tokoh muda Arema Eddy Rumpoko dan Lucky Acub Zainal.
Mereka memprakarsai pendirian klub Arema FC . Apalagi saat itu PSSI juga menggencarkan sebak bola profesional. Pelatih pertama yang direkrut gak tanggung-tanggung yaitu Sinyo Aliandoe yang pernah menukangi PSSI Pra Piala Dunia. Pemainnya seperti Mahdi Haris, Effendy Azis, Dony Latuperissa, Panus Korwa, Mecky Tata, Dominggus Nowenik, Karman Kamaludin, Aji Santoso.
Jadi Arema FC itu didirikan untuk mewadahi aspirasi berbasis paradigma partisipatif Arema (Arek Malang). Nama Arema FC dianggap lebih pas daripada nama Armada FC. Arema FC itu mempersatukan elemen-elemen komunitas Arek Malang. Menjadi buhul pengikat solidaritas Arek Malang.
Maka sejak awal, keyakyatan itu menjadi karekter Arema FC. Klub profesional tetapi karakternya bukan semata bisnis untuk mengeruk cwan tetapi untuk persatuan komunitas. Mengembangkan paradigma partisipatif. Maka jangan heran kalau Aremania selalu minta dilibatkan dalam proses keputusan manajemen Arema maupun stakeholder yang lain. Aremania terhadap Arema FC itu benar-benar melu angrungkebi lan melu andarbeni (ikut membangun dan ikut memiliki).
Aremania selalu menjaga karakter kerakyatan yang egalitarian. Independen. Pasti akan menolak ketika hendak digiring ke emosional-primordialisme sempit yang bisa memecah belah. Siapapun yang mencoba mengkooptasi Aremania untuk kepentingan politik pasti akan terpental.
Aremania tumbuh dan berkembang secara fenomenal. Luar biasa. Aremania menjadi leader dalam aksi teatrikal di stadion. Menjadi inspirasi suporter di seluruh Indonesia. Martabatnya tinggi di mata dunia dan Indonesia.
Terbakar dan musnah
Kerakyatan, independen, egalitarian ini boleh dibilang sebagai tradisi agung Aremania. Inilah tradisi yang baik. Tradisi yang baik itu kalau di Al Quran dianalogkan dengan, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhannya. (Al Araf 58).
Salah satu buah Aremania sebagai tanaman yang baik itu adalah kekompakan, paseduluran, soliditas dan solidaritas (sabaya mukti sabaya pati) yang kuat . Sebuah kelompok yang dibingkai soliditas dan solidaritas itu kira-kira seperti yang dianalogkan Al Quran surah As Shaf ayat 4: “… dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang terusun kokoh”.
Tapi soliditas dan solidaritas ini akan menjadi titik rawan jika dipergunakan oleh tangan yang jahat dan mungkar. Di tangan manusia jahanam. Seperti halnya bumi. Pada dasarnya bumi itu diciptakan dengan baik dan untuk kembaikan semua mahluk. Tapi bisa menjadi rusak dan malapetaka jika di tangan orang yang jahat. Maka Allah wanti-wanti:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-yang berbuat kebaikan.”(Quran Al Araf 56).
Menggunakan soliditas dan solidaritas Aremania untuk kerusakan (fasad) itu gampang. Misalnya, pancing mereka marah. Ketika ada kawannya yang tanpa salah apa-apa dianiaya, digayang, digebuki, diperlakukan seperti binatang, bahkan lebih hina-dina dari kecoa, pasti soliditas dan solidaritas (sabaya mukti sabaya pati) mereka akan bangkit dengan melakukan pembelaan bersama-sama.
Nah, saat itulah menjadi titik yang paling rawan. Pembelaan bersama itu bisa menjadikan mereka seperti kawanan belalang yang mendatangi api obor. Terbakar dan musnah dalam sekejap. Setelah itu “manusia” akan mencari-cari dalih pokoknya belalang harus jadi yang salah.
“Manusia”? Ya manusia. Tapi ingat manusia itu bisa lebih hina dari belalang.
“Dan sungguh , akan Kami isi neraka jahanam banyak kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tapi) tidak dipergunakan untuk melihat, mereka mempunyai telinga Itapi) tidak dioergunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Meeka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran, Al Araf 179).
(Tulisan sampai di sini. Saya tidak mengatakan musibah kubro Stadion Kanjuruhan itu pararel dengan Puputan Bayu, Perang Jawa, Perang Surabaya. Wis ramesono dewe)….Rabbi a’lam (*)
*) Penulis adalah wartawan senior, peraih PWI Jatim Award 2022 untuk kategori Tokoh Pers Daerah.