Catatan HM. Zahrul Azhar Asumta SIP., M. Kes, dari Makkah
Salah satu “ritual ekstra” para peziarah ke tanah suci adalah ke ziarah ke Jabal Rahmah, yang lokasinya di atas bukit ditandai dengan sebuah tugu.
Dinamakan demikian karena konon tempat ini adalah titik bertemuanya Nabi Adam dan Hawa setelah keduanya terusir dari surga.
Entahlah! Yang jelas, lokasi ini banyak dikunjungi karena masuk wilayah Arafah yang menjadi keharusan bagi jamaah haji untuk wukuf di sini karena “Haji adalah Wukuf di Arafah”.
Istilah “rahmah” yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “ramah” memiliki arti yang kurang lebih sama dengan pengertian kita terhadap kata “ramah” itu sendiri. Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata “rahmah” yang terdiri dari fonem ra, ha, dan mim, pada dasarnya bermakna “kelembutan hati”, “belas kasih”, dan “kehalusan”.
“Tugu rahmah” ini memang pas berada di tanah Arab yang karakter masyarakatnya cenderung keras. Bayangkan saja bagaimana jadinya Bangsa Arab jika Nabi Muhamad yang lemah lembut tidak diturunkan Allah di negeri tandus ini? Tipikal keras yang dimiliki sebagian orang Arab ini apakah karena kondisi alamnya yang keras dan tandus ataukah karena pola konsumsi yang lebih banyak mengkonsumsi daging daripada sayuran? Wallahualam.
“Jangan belajar keramahan (hospitality) di Negeri Arab!” Itu ada dalam benak saya sejak ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri Arab hingga setidaknya sampai empat tahun yang lalu. Kesan yang tampak adalah wajah-wajah “tidak butuh tamu”, bahkan oleh para petugas imigrasi di bandara yang bertugas menyambut tamu mancanegara di “pintu masuk” ke sebuah negara.
Kondisi bandara terkesan “asal asalan”. Jauh dari gambaran kemewahan yang sering dipamerkan keluarga Kerajaan Arab Saudi. Situasi bandara itu segera memunculkan kesan di benak kita bahwa mereka tidak butuh kita, toh kita juga pasti datang karena ada Haramain.
Mereka mungkin lupa bahwa para tamu Allah pun berhak berandai-andai, “Ah, andaikan negerimu tak ada haramain, tak sudi rasanya aku kesini”.
Di saat saya ke Bandara Jeddah sendiri pakai taksi dari Mekkah, saya salah masuk terminal. Jangan bayangkan ada shutle bus atau skytrain untuk menghubungkan antarterminal yang terpisah pagar.
Saya harus mencari taksi lagi menuju terminal satunya yang jaraknya hanya sekitar satu kilo meter tapi harus keluar bandara yang jaraknya mencapai lima sampai enam kilo meter dengan tarif taksi penawaran pertama mencapai 200 SAR.
Untunglah ada taksi liar yang bisa diajak bernegosiasi dan akhirnya dapat seperampat dari harga umum. Setelah naik taksi dengan mobil yang ber-sunroof, di tengah jalan, si sopir berhenti dan memasukkan penumpang lagi. Gubrak, persis angkot di Indonesia. Saya tak bisa berkata-kata. Sungguh negeri yang tidak mengenal hospitality.
Pemandangan ini jauh berbeda dengan di Dubai atau Qatar. Mereka sepertinya telah belajar banyak tentang hospitality dan tourism.
Mereka sadar betul bahwa ketersediaan minyak yang menjadi sumber devisa negera mereka pasti ada batasnya. Namun, jasa melayani hati manusia tak berbatas selama matahari masih menyinari bumi.
Pariwisata adalah tentang melayani para pengunjung dengan keramahan yang mengesankan. Pariwisata sudah menjadi devisa utama bagi berbagai negara.
Dunia pariwisata tidak akan bisa lepas dari jiwa rahmah, kasih sayang, dan lemah lembut. Hospitality atau keramahan adalah jantung dari industri pariwisata, tak peduli apakah yang dijual agama maupun non-agama.
Bukankah Nabi pun memerintahkan kita untuk menghormati tamu? Tapi yang selalu mengherankan kita adalah mengapa yang lebih banyak menerapkan anjuran-anjuran Nabi itu justru orang lain? (*)