1 Juni 1945

1 Juni 1945

Kemudian Soekarno memperhatikan juga usaha-usaha mandiri bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Ia menyaksikan sendiri gelora rakyat banyak yang dengan penuh keberanian melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Ia belajar dari pengalaman bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 yang mau membangun tatanan masyarakat adil dan makmur, merdeka dari segala macam penindasan.

Dari sanalah kemudian Soekarno, pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, mencetuskan Pancasila sebagai landasan negara kita. Pancasila adalah saripati dari perjuangan melawan kolonialisme dan perjuangan membangun Negara Indonesia Merdeka.

Oleh karena itu, membaca kisah Pancasila adalah membaca kisah perjuangan rakyat menghancurkan kolonialisme Belanda dan membangun Negara Indonesia Merdeka. Perlawanan terhadap penjajahan telah meletus di berbagai daerah sepanjang kepulauan Nusantara.

Di Aceh kita punya Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia, dua perempuan gagah berani yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Di Ambon, kita punya Martha Christina Tiahahu yang berontak terhadap penindasan Belanda atas masyarakat Maluku. Di Jawa, kita punya Nyi Ageng Serang, perempuan cerdik ahli siasat perang gerilya kepercayaan Pangeran Diponegoro, yang gigih melawan penyerobotan tanah yang dilakukan penjajah Belanda.

Di Kalimantan, kita punya Pangeran Antasari bertempur melawan Belanda di sepanjang sungai Barito. Di Sulawesi, kita punya Pong Tiku, seorang gerilyawan piawai yang tak henti-hentinya membuat penjajah kesulitan menancapkan kaki di Tana Toraja.

Dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, pengorbanan para pahlawan kita tak berhasil mengusir penjajah Belanda. Apa sebabnya? Tak lain karena perjuangan kita terpecah-pecah, dijalankan sendiri-sendiri pada tiap-tiap wilayah. Setiap pahlawan berjuang untuk masyarakat di daerahnya. Mereka belum mengikatkan diri dalam satu kesatuan bangsa Indonesia. Mereka belum berjuang sebagai bangsa Indonesia yang satu.

Penjajah Belanda menuai keuntungan dari kondisi masyarakat Nusantara yang terpecah belah. Bahkan tak jarang pula mereka memanfaatkan perbedaan itu demi menyulut perpecahan di antara masyarakat Nusantara sendiri.

Agar masyarakat Nusantara tidak bersatu melawan Belanda, maka penjajah menanamkan ketidaksukaan antar daerah, prasangka antar etnis, kecurigaan antar pemeluk agama di Nusantara. Sebab mereka tahu, penjajahan hanya bisa langgeng kalau masyarakat yang terjajah itu terus terpecah-belah.

Politik pecah-belah atau adu-domba inilah yang perlahan lahan disadari oleh rakyat Indonesia. Di awal abad ke-20, dengan tumbuhnya suratkabar yang diusahakan dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri muncullah kesadaran persatuan sebagai bangsa.

Muncullah kesadaran bahwa orang Jawa, orang Batak, orang Minang, orang Bone, orang Maluku, orang Flores, peranakan Arab, peranakan Tionghoa, semua etnis dari berbagai daerah di Nusantara itu sama-sama dijajah. Walaupun mereka berbeda- beda, tapi mereka tetap satu sebagai bangsa yang dijajah oleh Belanda.

Oleh karena itu, perlawanan terhadap kolonialisme pun hanya akan berhasil apabila dilangsungkan sebagai suatu kesatuan tenaga, sebagai satu bangsa yang meronta dan berontak ingin merdeka.

Maka lahirlah bangsa Indonesia, burung garuda yang gagah dan cemerlang itu. Maka bangun dan berdirilah bangsa Indonesia! Kita bangsa Indonesia terlahir dari etnis, agama dan pandangan hidup yang berbeda, tetapi dipersatukan oleh nasib penjajahan yang sama dan oleh karena itu dipersatukan pula oleh api rasa merdeka yang sama. Kita berbeda-beda tapi tetap satu bangsa merdeka. Dengan begitu, bergulirlah perjuangan rakyat Nusantara sebagai bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Orang-orang membangun partai tidak lagi atas dasar etnis, agama dan kewilayahan, tetapi atas dasar keinginan bersama untuk merdeka.

Atas desakan zaman yang mewujud dalam perlawanan rakyat di mana-mana, muncullah para pemimpin pergerakan kebangsaan. Dibentuklah Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia pada 25 Desember 1912 oleh Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka ditangkap dan dibuang karena mengkritik pemerintah Belanda.

Kemudian tumbuh partai-partai lain yang ditanggapi dengan keras oleh pemerintah kolonial. Sebagian dibubarkan, anggotanya diasingkan, bahkan dibunuh dan dianiaya.

Di tengah gelora itu, tampillah Soekarno memimpin Partai Nasional Indonesia yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia. Ia berulang-kali ditangkap, dijebloskan ke penjara dan diasingkan ke berbagai daerah di sepanjang Nusantara. Tapi ia tetap teguh memimpin perjuangan bangsa Indonesia ke arah kemerdekaan. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan nasional itulah ia mencetuskan Pancasila sebagai intisari perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka.

Kisah Pancasila adalah kisah perlawanan rakyat untuk menggantikan tatanan masyarakat terjajah dengan tatanan masyarakat merdeka. Kisah Pancasila adalah kisah bangsa merdeka. Inilah kisah yang belum selesai hingga kini. Kisah Pancasila adalah kisah kita semua. ***