Tanpa menyadari, kita secara substansial telah menjadi serigala yang melambangkan kekejaman dan penindasan.
Telah menjadi tikus yang melambangkan kelicikan.
Telah menjadi anjing yang melambangkan tipu daya.
Telah menjadi domba yang melambangkan penghambaan.
Bisa juga kita sebenarnya secara substansial telah menjadi “jazad”. Siapa itu “jazad”?
Al Quran menyebut jazad di Surah Al Anbiya 8, “Dan Kami tidak menjadikan mereka (Rasul-rasul) sebagai “jazad” yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak (pula) hidup kekal.
Jazad di jaman Nabi Musa berupa patung anak sapi berbahan emas yang diciptakan Samiri. Patung itu hebat, bisa mengeluarkan suara. Pada akhirnya dinobatkan sebagai Tuhan oleh umat Bani Israel. (Quran: 20: 87 – 97).
Di jaman yang lebih muda yaitu semasa Nabi Sulaiman “jazad” adalah sesuatu yang tergeletak di singgasana Sulaiman. Suatu sosok yang mengerikan sampai Sulaiman yang sakti pun bergetar. Jazad itu ditafsirkan sebagai Dajjal. (Quran: 38:34).
Di jaman now, bisa jadi jazad itu adalah mesin artificial intelligent (AI). Cerdas, hebat tetapi tanpa hati. Ketika manusia sudah tidak memiliki hati atau buta hatinya maka secara substansial tidak ubahnya sebagai AI.
Manusia menjadi seperti “jazad” buatan Samiri. Memposisikan diri sebagai Tuhan. Diejwantahkan dengan perilakunya. Ada yang merasa paling benar. Merasa paling berkuasa. Paling kaya. Paling digdaya. Paling pintar.
Bisa juga kita tanpa terasa telah menjadi pengikut “neo-Samiri”.
Penyembah AI. Manusia bergantung kepada AI daripada Tuhan. Menjadikan AI sebagai maha pengatur kehidupan.
“AI sudah mengendalikan dunia saat ini,” kata Tristan Harris, pakar IT dan mantan Desainer Estetik Google.
Jiwa yang suci
Dan puasa Ramadhan memiliki nilai penyangkalan terhadap hidup tanpa tujuan. Pengendalian agar manusia tidak menjadi budak hawa nafsu. Bengteng dari tarikan kekuatan kuasa gelapan, iblis, setan, Dajjal beserta krunya.
Maka diharapkan begitu selesai Ramadhan kita kembali ke fitrah, dasar penciptaan yaitu sebagai ruh Allah, jiwa yang suci. Manusia bertaqwa.
Demikian pula saat kita selesai hidup di dunia (mati), kita kembali kepada Allah dengan membawa fitrah kita. Kita disambut dengan sapaan, “Wahai jiwa yang bersih/suci. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan Masuklah ke dalam surga-Ku. (Quran:89:27-30). Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu).***
*) Penulis adalah kolumnis tinggal di Sidoarjo.