IDUL FITRI

Kajian Ramadhan, Diasuh Univ. Darul Ulum Jombang (27)

IDUL FITRI
H. Sahal Afhami, S. H., M. H

Oleh Dr. H Sahal Afhami, SH MH

Idul Fitri begitu sebutan resminya di belahan dunia termasuk di Indonesia, suatu perayaan kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh.

Beberapa istilah, ada yang menyebut Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Fitri, Hari Idul Fitri, dan orang Jawa menyebutnya Lebaran Idul Fitri, Lebaran Fitri, Riyoyo Fitri, dan Riyoyo Fitrah.

Al-Furqon Hasbi, dalam buku 125 Masalah Haji, 2008, memberi pengertian Idul Fitri dengan: “kembali berbuka”; yaitu kembali makan dan minum setelah berpuasa sebulan penuh.

Kata “Fitri” berasal dari fi’il madhi “fathara”. Fi’il mudhari’ “yafthuru”, dan isim masdar “fithran”. “Fitri” atau “fitr” berasal dari Masdar “fithran”, yang artinya “berbuka”. Idul fitri berarti “kembali berbuka”.

Kembali berbuka berarti kembali ke keadaan semula sebelum berpuasa, yaitu suatu keadaan yang membolehkan makan dan minum disiang hari.

Ada beberapa amalan yang dilakukan di bulan Ramadhan, antara lain: Taroweh, Sedekah, Membaca Al-Qur’an, Iktikaf, Istighfar, Taubat, menunggu datangnya malam Lailatul Qadar, dan mengeluarkan zakat fitrah.

Amalan-amalan itu sangat istimewa karena Do’a diijabah, permohonan ampunan dikabulkan, taubat diterima, dan semua amalan ibadah dilipatgandakan sebagai mana janji Allah mulai dari satu dibalas satu, satu dibalas sepuluh, satu dibalas tujuh puluh, satu dibalas tujuh ratus, dan satu dibalas berlipat-ganda tanpa ada hitungan (adh’aafan mudhaa’afatan).

Pengertian tidak ada hitungan berarti tidak dapat dihitung jumlahnya. Kalau masih ada satu, seribu, sejuta, semilyard, sebilyum dan seterusnya berarti masih dapat dihitung. Kalau berlipat-ganda berarti sudah tidak ada hitungan menurut angka dunia dan hanya Allah yang Maha Tau balasannya.

Sampailah dipenghujung Ramadhan, disaat terbenamnya matahari di malam Fitri, dengan kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap orang Islam walaupun belum mukallaf (kemampuan melakukan perbuatan dan/atau dibebani kewajiban hukum) karena kewajiban itu dimaksudkan kepada hartanya, dan bukan kepada orangnya, maka bagi orang tua atau wali anak wajib mengeluarkan zakat anak tersebut sebagai mana pendapat Imam Syafi’i, dan tidak wajib bagi Imam Hanafi (Nihayatu al-Zain: 179-180). Hal ini dapat difahami dari kaedah hukum yang artinya: orang yang tidak wajib memberi nafkah maka ia tidak wajib membayar zakatnya (man lam tajibu nafaqatuhu laa tajibu fithratuhu) ( Hasyiah I’aanatu Al-Thaalibiin, juz 2: 190).

Manusia dapat dilihat dari proses perkembangannya mulai didalam kandungan (yang oleh Hukum Positif diakui keberadaanya) sampai baligh atau balighoh (batas kedewasaan yang disebut dengan istilah mukallaf, untuk anak laki-laki 15 tahun, dan untuk anak perempuan 9 tahun) yaitu:
A. Kemampuan menerima (Ahlu al-wujud):
1. Janin dalam kandungan ibu
2. Sudah lahir tapi belum mengerti (tamyiz);
B. Kewenangan berbuat (Ahlu al-ada’):
3. Sudah mengerti tapi belum baligh atau balighoh;
4. Baligh atau balighoh.
(Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami, juz 5: 18 )

Dengan zakat tersebut menjadi sarana disampaikannya amal ibadah kehadirat Allah sebagai mana sabda Rasulullah Muhammad SAW yang artinya:
Puasa seseorang tergantung diantara langit dan bumi sebelum dikeluarkan sedekah Fitri (zakat fitrah).

Setelah berjibaku dengan amalan-amalan istimewa di bulan Ramadhan, tibalah hari Idul Fitri, yaitu keluarnya umat Muhammad dari bulan yang mulia ke hari kembali yang bahagia, dimana hari itu dapat kembali berbuka, dan bahkan diharamkannya berpuasa, untuk melahirkan kegembiraan bertemu sanak saudara, keluarga, tetangga, teman dan sahabat, dengan saling berkunjung (silatu al-rahmi), salam-salaman (mushafahah), dan menghidangkan makanan (bersedekah) yang dipunyai.

Dihari ini, hari Idul Fitri, hari Lebaran, yaitu hari Lebar, Lebur, Labur, dan Luber (istilah Ust. Wijanarko, ngaji di TV 2020) memberikan makna:
1. Lebar; dimaksudkan bahwa segala kejelekan, kesalahan, dan ketidakbaikan lebar dengan kebaikan dihari itu, artinya semua dosa Anak Adam baik yang berkaitan dengan Anak Adam itu sendiri maupun dengan Allah dilebur oleh Allah karena permohonan maaf antar sesama dan permohonan ampunan kepada Allah;

2. Lebur; dimaksudkan bahwa tidak ada yang lebih dan yang kurang dihadapan Allah, semua adalah sama, kecuali orang-orang yang dapat melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, yang terkenal dengan sebutan orang yang bertakwa (Muttaqin), karena hanya itu orang yang paling mulia dihadapan Allah.

3. Labur; dimaksudkan segala bentuk laburan berupa gelar, pangkat, kedudukan yang ditampilkan di hari itu tidak ada gunanya dibandingkan dengan bentuk ketaatan kepada Allah, sehingga ada kata-kata yang mudah dibaca dan enak didengar, yaitu kara-kata: hari raya itu bukan bagimorang yang bajunya baru tetapi bagi orang yang tambah ketaatannya (laisa al-id Li man labisa al-jadid, wa laakinna al-id Li man thaa’atuhu Jadid), dan;

4. Luber; dimaksudkan bahwa zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan di hari itu merupakan hak orang lain dan dapat memperingan beban orang lain sehingga keseimbangan tatanan hidup didalam masyarakat dapat terjaga dengan baik.

Disatu sisi makna lebaran sebegitunya indah dan dapat dipelihara keberadaannya untuk terus dilestarikan karena nilai-nilai kebaikannya yang nampak. Namun perlu diperhatikan sisi lainya karena masih banyak yang terjebak dikubangan kebiasaan yang sama yang kurang baik dari tahun ke tahun ketika merayakan idul Fitri.

Dihari idul Fitri tersebut banyak terjebak euforia yang ditampilkan kadang lupa ambang batas normal kewajaran. Karenanya perlu menilik
Sabda Rasulullah yang artinya:
Sesungguhnya Iblis meraung-raung di setiap Hari Raya dengan mengumpulkan pasukannya untuk membikin sibuk mereka yang merayakan Idul Fitri dengan kenikmatan-kenikmatan makanan dan minuman yang diharamkan sampai Allah memurkainya (Durratu Al-Nashihin: 264).

Karenanya, bagi orang yang berakal agar selalu mengendalikan hawa nafsunya dari keinginan-keinginan (syahwat) yang terlarang dan selalu melanggengkan ketaatan dengan berbuat dan berperilaku baik seperti melakukan shalat, mengeluarkan zakat, infak, sedekah, membaca tasbih dan tahlil karena dihari Idul Fitri ini Allah mengampuni dosa-dosa yang ada, mengijabahi do’a-do’a yang dipanjatkan, dan melihat dengan kasih sayangNya.

Ada beberapa perbuatan baik yang bernilai ibadah di hari Idul Fitri, yang salah satunya sebagai contoh, yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW terhadap anak yatim yang murung menangis dipagi hari Idul Fitri, dengan bertanya kepadanya:
Kenapa kamu menangis dan tidak ikut bersama teman-temanmu bermain?.

Anak kecil itu tidak tau bahwa yang bertanya adalah Rasulullah. Ia menjawab dengan seenaknya: bapakku meninggal ikut perang Rasulullah, ibuku nikah lagi, dan memakan hartaku. Aku diusir suami ibuku dari rumahku. Aku tidak mempunya pakaian, makanan, dan minuman. Aku melihat teman-temanku semuanya punya bapak, sedangkan aku tidak. Karena itulah aku menangis.

Kemudian Rasulullah menjabat tangannya dengan berkata: apakah kamu mau (Ridha) aku jadi bapakmu, Aisyah jadi ibumu, Ali jadi pamanmu, Hasan Husain jadi saudara laki-lakimu, dan Fatimah jadi saudari perempuanmu?
Anak tersebut terperanjat karena baru tau bahwa yang bertanya itu adalah Rasulullah, sontak dia menjawab: kenapa tidak mau Yaa Rasulallah…..?
Anak tersebut kemudian diajak Rasulullah kerumah, diberi pakaian yang bagus, diberi makanan sampai kenyang, dipersolek dan diberi perfum harum-haruman.

Lalu anak tersebut keluar dengan riang gembira, dan teman-tannya melihatnya kok beda dengan sebelumnya yang murung, menangis, susah dan Kumal. Kenapa kamu sekarang riang gembira, tanya teman-temannya?
Anak tersebut menjawab: bagaimana aku tidak gembira, karena aku tadi lapar sekarang kenyang, tadi compang camping sekarang berpakaian, tadi aku yatim sekarang Rasulullah jadi bapakku, Aisyah jadi ibuku, Hasan Husain jadi saudara laki-lakiku, Ali jadi pamanku, dan Fatimah jadi saudari perempuanku.

Maka teman-teman anak tadi melamun: seandainya (lamunan bentuk “laita”, yaitu melamun yang jauh jadi kenyataan) bapak-bapak kita semua meninggal dalam peperangan yang seperti itu maka kita bisa jadi seperti teman kita ini??? (Durratu Al-Nashihiin: 265).

Semua bentuk kesenangan dihari Idul Fitri perlu diwaspadai jangan sampai tergelincir melanggar batas kebolehan secara syar’i. Sabda Rasulullah SAW yang artinya:

Wajib bagimu memperbanyak bacaan “laa ilaaha ilallah” dan “istighfar” sebab Iblis (semoga Allah melaknatnya) berkata: aku merusak manusia dengan melakulan perbuatan dosa dan maksiat. Kemudian manusia merusakku dengan membaca laa ilaaha illaallooh dan istighfar. Ketika aku mengetahuinyab demikian, maka aku merusaknya dengan mengikuti hawa nafsunhya, dan mereka menyangka bahwa yang mereka lakukan itu benar (Abu Ya’la di dalam Al-Musnad, Juz 1: 123, Imam Thabrany di dalam Al-Dua’: 504 Bilafdzi Mukhtasar, Ibnu Abi Ashim di dalam Al-Sunnah: 6).

Oleh karena itu ada kata-kata indah dan enak didengar yang artinya:

Bukan hari Raya bagi mereka yang hanya mempercantik pakaian dan kendaraannya, sesungguhnya hari Raya adalah diampuninya dosa-dosa mereka.
Bukanlah hari Raya bagi orang yang hanya berpakaian baru, sesungguhnya hari Raya adalah bagi orang yang bertambah ketaatannya (laisa al-iidu Liman tajammala bi al-libaasi wa al-markuubi, innamaa al-iidu ghufirat lahuu al-dzunuub. Wa laisa al-iidu Liman labisa al-jadiid, innamaa al-iidu Liman thaa’atahu taziid).

Semoga Idul Fitri kita di 1442 H. yang masih terkendala bala’ Covid-19 ini menjadi pelajaran yang berharga untuk tidak mengumbar diri secara euforia mendekati ambang batas kewajaran secara syar’i sehingga masih tetap dapat mensyukuri karunia Allahnberupannikmat-bikmat, baik yang diminta maupun yang tidak diminta dengan cara melanggengkan ketaatan, melakukan kebaikan dan kebenaran berupa mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, membaca tasbih dan tahlil agar tetap diampuni dosa-dosa yang ada, diijabahi doa-doa yang dipanjatkan, dan dilihat Allah dengan kasih-sayangNya. Aamiin YRA. (*)

* Penulis asalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum Jombang.
* e-mail: [email protected]