Tajuk  

Sarmuji Sarat Falsafah Jawa, Golkar Semakin Wibawa

Sarmuji Sarat Falsafah Jawa, Golkar Semakin Wibawa
H. Djoko Tetuko Abdul Latief

Ketua Golkar Jatim M. Sarmuji menyatakan pilihan mengangkat falsafah Jawa sebagai materi kultumnya untuk menegaskan bahwa Islam juga ramah terhadap kearifan lokal, termasuk kearifan lokal dalam hal nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang selama ini sudah berkembang di tengah masyarakat.

Anggota DPR RI Dapil VII Jawa Timur ini, justru dengan mengangkat falsafah Jawa dan memberikan penguatan perspektif islam itu menunjukkan bahwa ada universalitas nilai-nilai Jawa dan Islam. Keduanya bisa saling menguatkan.

Salah satu catatan harian ke-25, M. Sarmuji mengangkat tema “Wutah Wutuh (tumpah tapi utuh) yang bermakna apapun yang didermakan dan dibelanjakan kepada orang lain, maka akan dikembalikan utuh seperti yang didermakan bahkan dilebihkan oleh Allah SWT.

“Kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari orang yang rajin berderma tidak menjadi miskin, bahkan kehidupannya menjadi lebih berkah dan hartanya justru bertambah,” ujarnya.

Sarmuji memperkuat ungkapan Wutah Wutuh ini dengan mengutip firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 272: _“wa maa tunfiquu min khairin yuwaffa ilaikum wa antum laa tuzlamuun”_ yang artinya Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan).

M. Sarmuji memang belum teruji selama memimpin Golkar Jatim, tapi memulai sentuhan dengan penguatan falsafah Jawa dengan Islam, maka akan menjadi lokomotif perubahan ke depan bahwa sentuhan akan menuai hasil Partai Golkar akan semakin “mekar” walau masih belum mengakar.

Sebuah catatan falsafah Jawa dan Islam, merupakan keberanian Sarmuji untuk mengulang kembali kejayaan Golkar dengan begitu menjaga “tindak, tanduk, tunduk” dalam mengemban amanat menjalan partai politik ala Jawa.

Sebagai catatan harian ke-25 Sarmuji mengangkat etos keberanian masyarakat Jawa dalam ungkapan _Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati_ (sepegangan dahi, seukuran jari di bumi akan dibela sampai mati).

Ungkapan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa meskipun halus perangainya, tetapi jika berhubungan dengan mempertahankan hak dan kebenaran, maka akan dipertahankan hingga nyawa sebagai taruhannya.

Tentu saja itu hanya sebuah ungkapan, tetapi terkandung sebuah falsafah bahwa dalam berpartai akan senantiasai menenun sejarah dengan pandai-pandai menjaga marwah atau martabat pemilih di atas segala-galanya. Dan hal itu mampu dilakukan maka tinggal menunggu hasil waktu, intelektual modern Golkar dipadukan dengan falsafah Jawa dan Islam di era digital, akan menjadi kekuatan tersendiri.

Seperti kelimat pendek ini, “Nrimo ing pandum”, falsafah Jawa ini bermakna menerima segala pemberian. Dapat ikhlas dalam menghadapi segala hal yang terjadi khususnya agar tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak milik orang lain.

Sarmuji memulai falsafah Jawa itu artinya memulia mengembalikan perjuangan Sekber Golkar dalam menyelamatkan bangsa dan negara dalam berbagai strategi parpol dengan (tentu saja) menggabungkan “intelektual-Jawa-Islam” dalam gerakan kebangsaan. Dan jika berhasil akan membuat Golkar kembali mempunyai wibawa dalam berkiprah. (*)