Oleh Djoko Tetuko, Pemimpin Redaksi WartaTransparansi
Partai Golongan Karya (Partai Golkar) sebelumnya bernama Golongan Karya dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah Partai Politik yang lahir dari rahim orde baru, yang sejak awal memiliki sentuhan politik yang sarat dengan falsafah falsafah jawa-nya. Sentuhan ini yang diharapkan oleh pendiri partai akan menunai wibawa partai.
Namun belakangan, terutama sejak era reformas menggelinding falsafah falsafah jawa itu mulai redup, tak terdengar nyaring lagi diucapkan oleh petinggi partai Golkar.
Padahal Presiden RI ke-2 Soeharto, dengan penuh kharismatik membangun Pemerintahan Orde Baru, melalui pemilihan umum (Pemilu) 1971 dengan 10 kontestan parpol dari euforia multipartai pada Pemilu 1955, Pemilu pertama sejak kemedekaan RI. Nuansa politik Jawa dan sentuhan strategis penguatan partai dengan pola Jawa.
Diawal Orde Baru, ketika sila ke-4 Pancasila mengendalikan demokrasi dari-oleh-untuk rakyat dengan menguatkan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Maka pemimpin di pusat maupun di daerah, adalah junjungan tertinggi dan dihormati juga dipatuhi fatwa dan keputusannya.
Di Jawa Timur kediaman (almarhum) Moh. Said, ketua Golkar Jatim dan tokoh sentral seperti sebuah kerajaan menjadi sentral hampir semua keputusan pemerintah di seluruh wilayah Jatim. Sehingga Jl Progo menjadi perumpamaan seperti Jl Cendana Jakarta.
Di pusat sudah bukan rahasia umum lagi, ketika itu Jl Cendana menjadi sentral pemerintahan dan pengambilan kebijakan partai politik secara nasional dengan Golkar sebagai single mayority. Dan dua partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, sama-sama menunggu restu dari sentral kekuasaan model Jawa itu.
M. Sarmuji, Ketua Golkar Jatim dengan memberikan catatan hariannya sebulan penuh selama bulan puasa yang tayangkan di akun Youtube Golkar Jatim TV menjelang berbuka puasa.
Ada keunikan dan kekhasan tersendiri dalam catatan harian yang dibawakan M. Sarmuji tersebut, yaitu sarat falsafah Jawa yang dipadukan dengan nilai-nilai keislaman. Ringan karena sudah menjadi ungkapan sehari-hari, tetapi memiliki kedalaman makna dalam implementasi. Ada juga topik tentang ajaran-ajaran Jawa yang sudah lama tidak terdengar.
Sarmuji memilih memadukan Nilai Jawa dan Nilai Keislaman dalam menangkap fenomena kekinian yang sedang terjadi di masyarakat modern.
Fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini sudah ditangkap oleh leluhur orang Jawa lalu muncul petuah, ungkapan, kata bijak dalam tembang-tembang yang dinyanyikan seperti dandhanggulo, asmarandhana, pangkur dan sebagainya.