MUDIK, BUDAYA YANG MENG-AGAMA

MUDIK, BUDAYA YANG MENG-AGAMA
HM. Zahrul Azhar As’ad, Sip, Mkes.

Oleh HM.Zahrul Azhar As, SIP, MKES

Mudik adalah aktivitas kembali sejenaknya para perantau menuju kampung halaman, aktivitas Ini memiliki makna dan manfaat dalam membangun serta memperkuat lem koheisivitas sosial baik dalam kontek kekeluargaan maupun komunitas kewilayahan; asal desa, kampung atau kabupaten.

Kegiatan mudik ini seakan menjadi pengingat bahwa diantara kesibukan yang menumpuk dalam membangun asa ada masa lalu yang harus tetap dirajut sebagai pemerkokoh langkah langkah kedepan , bukankah kehidupan itu seperti menaiki anak tangga yang harus kita jaga agar tidak patah dan terjatuh ketika kita berada diatas?

Hanya orang pongah yang tak pandai merawat anak tangga yang pernah ia pijak untuk menuju sak tangga yang lebih tinggi, Mudik adalah cara merawat dan cara mengingatkan kita tentang siapa kita sebenar nya.

Tidak hanya di Indonesia, ada beberapa negara yang memiliki tradisi tahunan mudik bahkan lebih heboh dari Indonesia yaitu mudik imlek di China dan mudik dilwani di India. Keduanya secara geografis berada di belahan Asia dan memiliki situasi sosiologis budaya yang sama dengan Indonesia ; eastren culture.

Kita beruntung hidup dengan Budaya ketimuran yang cenderung tidak transaksional, itung itungan, egosantris dan memuja efisiensi, kita tidak Bisa bayangkan andai kita dengan orang tua kita pun menggunakan pola hub transaksional maka bisa jadi orang tak akan melakukan kegiatan yang memerlukan effort dan biaya yang tidak sedikit hanya untuk bersalaman dan bertekuk lutut sungkem kepada kedua orang tua kita. mudik adalah kegiatan yang hi cost dan useless dimata para pemuja efisiensi, dia akan mengatakan ; kenapa Harus bersusah payah datang langsung kan bisa video call jauh lebih efisien?.

Mudik bisa juga memiliki fungsi menjaga perenial kemanusiaan yang sudah mulai tergerus dengan nilai nilai moderenistik dan materialistik barat yang serba itung itungan serta egosentris. Mudik juga dapat mengurangi sagregasi yang makin menajam antar kelas atau strata sosial karena dalam aktifitas mudik ini kita dapat saling mengingatkan tentang siapa sebenarnya kita di kampung halaman dan tentang bagaimana masa lalu kita.

Tidak ada rujukan apapun yang seakan “mewajibkan” umat Islam untuk mudik disaat lebaran , tetapi banyak nilai nilai didalamnya yang bersentuhan dengan ajaran Islam yaitu diantaranya tentang pentingnya silaturahmi dan kewajiban kita memuliakan orang tua walau sebenarnya sebenarnya bisa dilakukan setiap waktu tanpa ada batasan waktu , Namun karena kegiatan ini sudah mentradisi dan membudaya buah karya para pendahulu pendahulu kita yang pandai meramu dan meracik nilai nilai agama dengan kearifan lokal masyarakat timur yang gemar Bersilaturahim maka lahirlah kearifan lokal baru yang bernama ; Mudik.

Momentum adalah kaca kunci lain dari kegiatan mudik menjadi “wajib”, pengkaitan antara Idul firti yang dianggap sebagai waktu yang paling pas untuk bermaaf maafan dan regulasi pemerintah yang mendukung dengan pemberian hari libur yang relatif lebih panjang dari yang lain menjadikan momentum ini speisal dan seakan tak tergantikan.