Tajuk  

Kartini, Santriwati Pencetus Terjemahan Al-Quran Bahasa Jawa

Oleh : Djoko Tetuko, Pemimpin Redaksi Wartatransparansi

Kartini, Santriwati Pencetus Terjemahan Al-Quran Bahasa Jawa

Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Namun sayang kecerdasan Raden Ajeng Kartini dan kegelisahan untuk membumikan Al-Quran dengan terjemahan bahasa Jawa, baru-baru akhir-akhir ini ditulis beberapa penulis dari berbagai referensi.

Tentu dengan latar belakang priyai (pembesar berbudi pekerti) juga santri, Kartini belajar mengaji kepada
KH Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat).

Mbah Sholeh Darat Semarang juga populer menjadi guru dari KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, sang pejuang dan pemikir Kartini dalam suatu dialog meminta Kiai Sholeh Darat menterjemahkan Al-Quran dalam bahasa Jawa.

Melalui dialog cukup panjang, sang santriwati Kartini selalu memberikan penguatan bahwa mengusulkan untuk menterjemahkan Al-Quran dalam bahasa Jawa benar-benar menjadi bagian kehidupan masyarakat Jawa. Dimana kala itu menjadi pusat pengembangan peradaban keilmuan umum, Islam, dan budaya Jawa.

Kecerdasan, pemikiran kritis konstruktif, pemikiran memperjuangkan pendidikan anak bangsa, menyetarakan pendidikan kaum hawa, ide pencetus tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa, pada akhirnya Allah SWT memberikan takdir bahwa Kiai Sholeh Darat diberikan kemampuan dan kelebihan mampu mewujudkan terjemahan dan tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa.

Tentu saja sebagai pencetus, sebagai santriwati dengan ide brilian di zaman penjajahan, RA Kartini menjadi sebuah catatan
pada Kitab Tafsir Faidlur Rahmanmasih, karya besar Kiai Sholeh Darat.

Rabu (21/4/2021) hari kesembilan bulan Ramadan, bulan turunnya Al-Quran dari Lauh Mahfud ke langit kemudian melalui Malaikat Jibril disampaikan ke Nabi Muhammad SAW, santriwati Kartini seorang pejuang Islam sangat gigih. Diperingati secara nasional sebagai Hari Kartini.

Salah satu surat
kegelisahan Kartini kepada Stella EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899: “Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Disini orang diajari membaca al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.

Begitu dahsyatnya Kartini melakukan kritik kuat terhadap pembelajaran agama di akhir abad 19 itu. Perjuangan dan perlawnannya itu menjadi bukti bahwa Kartini sangat peduli terhadap kuatnya minat untuk belajar isi agama yang terkandung dalam al-Qur’an.

Kartini ibu semua anak bangsa, ibu dari para santri di pondok dan di kampung yang sekarang menikmati terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa beserta tafsirnya.

Itulah sosok Kartini bukan sekedar perempuan bersanggul (konde), bukan sekedar pejuang kaum hawa, tetapi pejuang dan pencetus jalan dakwah agama Islam semakin membumi di bumi pertiwi.