Nah, kesalehan sosial inilah belum tergarap dengan konsisten. Siapa pun pasti menginginkan perubahan dan perbaikan dalam segala hal, termasuk sosial dan ekonomi, apalagi di kondisi yang lagi terpuruk, akibat pandemi.
Padahal, Islam telah mengajari proses kehidupan yang standar dan sangat kompeten.
Sayangnya, banyak umat terlena bahwa perubahan itu diraih manakala ada kesediaan untuk menerima informasi, pengetahuan baru, nasehat, dan sejenisnya. Namun pada kenyataannya belum tentu orang mau diberi informasi, apalagi kearifan dan strategi untuk perbaikan.
Perjuangan para wali dalam berdakwah, merupakan proses panjang dalam perjalanan hidup manusia untuk memperoleh ketenangan, keteduhan dan bimbingan lahir-batin sehingga masyarakat yang awalnya animisme, dan sebagian mengenal agama selain Islam, mulai ingin menyelami keberagaman Islam yang Salamatan fiddin waddunya wal Akhira (membimbing keselataman di dunia akhirat), dan Islam yang rahmatal lil ‘alamiin. Inilah bentuk kesalehan yang terabaikan. Kita terkadang terlalu individu dan melupakan keberkahan berawal dari lingkungan di sekitar kita.
Saatnya kita merenungkan diri, mengapa ada istilah Gapura (pintu gerbang) masuk kampung, desa idiom dengan harapan pintu ampunan dari Allah SWT setelah melakukan perbuatan di luar yang tidak bisa lepas dari dosa dan salah. Gapura sendiri diartikan Ghofur (Allah Maha Pengampun).
Begitu pula, budaya adanya megengan dengan kebiasaan berdoa dan ater-ater (berbagi makanan termasuk apem), dan berbagai kebiasaan yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan (ketauhidan) secara perlahan bisa dibimbing. Penganan apem (bahasa Arab afwan = ampunan) dari tepung beras putih mempunyai filosofi budi pekerti manusia supaya tetap terjaga kesucian dengan selalu memohon ampunan kepada Rabb.
Belum lagi, syair-syair dakwah para sunan, semua dengan lirik-lirik penuh wujud meng-Agungkan nama Tuhan. Ilir-ilir, seluku-seluku batok, dan lainnya merupakan realita dakwah yang di era sekarang harus dimodifikasi, tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan dan kesantunan.
Lantas tantangan umat sekarang bagaimana? Seharusnya umat Islam harus berada di garda depan mempelopori berbagai perubahan menjadi embrio positif membangun citra kebenaran, bahwa Islam itu memang rahmatal lil ‘alamiin.
Dalam menghadapi segala hal prilaku kehidupan, termasuk kondisi pandemi, kita tidak boleh lengah dan pasrah, karena Baginda Rasulullah merupakan sosok pemimpin yang familier, aktif, dinamis dan melekat sifat-sifat kenabian yang selalu mendapat bimbingan Allah.
Jadi, tantangan ke depan, pemimpin Islam saat ini harus mampu membangun peradaban manusia sebagaimana tapak tilas pejuang pendahulu mumpuni di sektor perekonomian, perdagangan, dan perniagaan sehingga sistem halal-riba menjadi rujukan dalam berbisnis.
Artinya, proses ikhtiar (bekerja), penghasilan, dan kemampuan berbagi dengan sesama melalui amal jariyah, infaq, sadaqoh, dan zakat terus mengalir karena ada sinergi.
Jiwa social harus tetap dijadikan benih dalam menumbuhsuburkan kesosialan hati umat, termasuk peduli dengan sesama, seperti istiqomah donor darah, menyantuni fakir-miskin, peduli anak yatim, dan dorongan selalu peduli terhadap kesulitan yang lagi terkena ujian dan musibah.
Kalau umat Islam hanya terpaku dengan kebutuhan indivisu, maka akan sulit membangun kesalahean sosial. Semua harus dimulai dari diri kita sendiri, kemudian elemen masyarakat Islam harus kompak membentuk jaringan nirlaba dan bisnis syariah. Kita harus yakin, Ramadan inilah sarana yang sangat tepat untuk mengembleng jiwa dan prilaku solidaritas sosial. (mat)
HS. Makin Rahmat – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jatim/ Direktur LBH Martim/ Jurnalis Senior