Oleh : Dr. Sirikit Syah, MA
Pengajar dan pengamat media
PADA hari pertama pemberitaan insiden perempuan menerobos Mabes Polri, hampir semua media mainstream menyiarkan informasi yang berasal dari satu sumber.
Yaitu polisi.
Informasi yang berasal dari satu sumber itu tak beda dengan siaran pers atau press release. Tentu mengherankan. Mengapa media arus utama tidak segera terjun ke lapangan dan menggali serta memperkaya informasinya lebih lanjut.
Kabar-kabar samping, dari sumber berbeda, independen, dan pengamatan murni warganet, kemudian memunculkan beberapa kejanggalan atas peristiwa tersebut. Tulisan ini tak bermaksud mematahkan siaran pers pihak kepolisian, melainkan hendak menganalisis alur dan struktur pemberitaan yang tampak kehilangan spirit jurnalisme.
Pertama adalah penggunaan bahasa yang kurang tepat. Diksi kalimat dalam judul dan isi berita seperti Perempuan Menyerang Mabes Polri, Mabes Polri Diserang, Terjadi Baku Tembak, terdengar bombastis. Tidak sesuai fakta di lapangan berdasarkan video yang beredar. Begitu juga istilah lone wolf terrorism yang dikenalkan untuk menyebut teroris yang bekerja sendirian terkesan merendahkan martabat polisi. Emangnya itu markas kelinci? Justru si perempuan seperti domba nyasar ke sarang serigala. Ya matilah dia.
Dalam video hanya tampak seorang perempuan mondar-mandir seperti tak tahu akan berbuat apa. Beberapa polisi lari bersembunyi atau menghindar melihatnya. Lalu dor, perempuan itu langsung ditembak mati.
Kabar yang beredar kemudian adalah siaran pers kepolisian. Bahwa sang perempuan itu diduga teroris dan diduga menyerang markas besar. Wartawan media arus utama tidak tampak berusaha melengkapi dengan meninjau ke lapangan, mengajukan banyak pertanyaan: dengan siapa perempuan itu datang, siapa yang mengantar, mengapa KTP tidak ditinggal di pos depan, mengapa aparat tidak menangkapnya, siapa keluarganya, mengapa dia baru membuat Instagram sehari sebelumnya, apakah dia melek digital sehingga bisa membuat Instagram? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Pada hari kedua pasca insiden, polisi baru memberi informasi jati dirinya, tempat tinggalnya, keluarganya, dan menemukan jejak barang bukti ”ideologi radikal” yang hanya berupa kaos bertuliskan FPI dan surat wasiat. Tidak ada jejak pembuatan bom atau bukti kontak/jaringan ISIS atau apa.
Kehilangan Nalar Kritis
Di titik ini jurnalis mestinya langsung mendatangi keluarga ZA, mewawancarai keluarga dan para tetangga. Ini tidak dilakukan. Jurnalis terima beres informasi dari polisi. Termasuk polisi yang berbaik hati, pada hari ketiga, menyantuni keluarga dengan membawa sembako sebagai tanda duka. Jadilah yang berkembang jurnalisme rilis pers.
Duka keluarga ini bukan hanya karena salah satu anggota keluarganya tewas ditembak polisi, tetapi stigma yang tertempel: teroris. Stigma pada orang yang sudah mati yang tak bisa membantah, dan stigma pada keluarga besarnya.
Inilah sebetulnya tugas jurnalis. Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran (Kovach & Rosenthiel, 2002). Itu bisa dilakukan dengan menelusuri jejak sebelum dan sesudah insiden. Karya jurnalistik tak cukup hanya dengan menjawab 5W+1H, karena siaran pers polisi isinya sudah memenuhi syarat itu.