Ada celah sebagai sebuah “kebodohan”, karena dengan tegas menyatakan pihak RSUD Caruban Kab. Madiun tidak salah, tetapi tidak menjelaskan apakah sudah melakukan komunikasi dangan pihak RS Dr. Soetomo Surabaya.
Pembodohan atau memperbodoh (bahasa Inggris: dumbing down) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengurangan tingkat intelektual, secara sengaja terhadap isi dari materi pelajaran & pendidikan, literatur & film, juga berita & budaya. Gagasan dan istilah dumbing down berawal pada tahun 1933, sebagai bahasa slang yang digunakan oleh penulis skenario film, yang bermakna “Disesuaikan supaya menarik bagi mereka yang kurang pendidikan atau berdaya intelektual yang rendah”
Praktik pembodohan juga dilakukan karena ketidakmampuan melakukan langkah-langkah profesional dan proporsional, seperti membuat pernyataan pasien Covid-19, ternyata hasil swab negatif, dan sakit bukan tanda-tanda terinfeksi virus Corona. Dimana pasien murni sakit berak darah, bukan sesak nafas atau penyakit dalam seperti dialami pasien Covid-19 pada umumnya.
Apakah masuk “kebohongan publik”, jika pihak RSUD tidak segera meralat dengan menyatakan salah karena kurang profesional, juga tidak meralat pemberitaan di media pers dengan mengeluarkan surat keterangan, serta tidak ada berita acara kesepahaman dengan pihak keluarga, maka bisa menjadi fitnah dan itulah “kebohongan publik”.
Kebohongan publik ini sangat membahayakan. Sebab cerita di masyarakat tetap menguatkan bahwa pasien wafat dengan status sesuai pelaksanaan pemakaman, yaitu Covid-19.
Kesalahan sebagai pertanggungjawaban kepada Allah SWT, karena tidak memandikan mayit juga tidak mensholati. Padahal dibolehkan dengan ketentuan sesuai protokol kesehatan, maka berdosa terhadap si mayit, dan kesalahan itu menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit.
Demikian juga pembiaran terhadap masalah ini, jika tidak segera dibuatkan surat keterangan dan permohonan maaf kepada pihak keluarga, maka ketika itu terus menjadi cerita dan fitnah, maka pihak rumah sakit menerima dosa atas penyebarluasan informasi yang salah.
Oleh karena itu, kahati-hatian memang dibolehkan, tetapi menyangkut masalah sangat sensitif seyogianya dihindari. Demikian juga upaya menyelesaikan permasalahan ini, bukan sekedar mengembalikan uang dari keluarga pasien. Tetapi dibuatkan kronologis disertai penguatan peraturan perundangan yang berlaku, kemudian dibuatkan kesepahaman dan melakukan koreksi atau pembetulan atas informasi dan keputusan yang terlanjur salah.
Siapa pun yang salah harus legowo atau dengan tulus membuat pernyataan, dan meminta maaf. Daripada membiarkan kesalahan terus menggelinding menjadi berita salah selamanya. Itulah sebuah “kebodohan” berakibat dosa berjalan, dan harus dihindari. (*)