Bagi Jatim sebagai provinsi
penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau sangat besar. Sangat menentukan apakah kebijakan kenaikan tarif cukai rokok berpengaruh terhadap petani tembakau beserta seluruh pihak terkait, maupun bagi perokok sejati.
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi mengatakan,
kenaikan tarif cukai rokok, seiring dengan naiknya target penerimaan cukai di tahun 2021, sebesar Rp 172,8 triliun atau naik 4,8% dibandingkan tahun 2020 sebesar Rp 164,9 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp 109,06 triliun atau sudah mencapai 53,02 persen dari target atau tumbuh sebesar 3,71% per akhir Juli 2020.
Keluhan produsen rokok legal, tentu saja juga sudah didengar pemerintah, terutama
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuanga bagiamana meminimalisir, bahkan memberangus rokok ilegal. Sehingga kebijakan pemerintah menaikkan CHT; Pertama, membatasi perokok hanya khusus untuk kalangan perokok dengan ekonomi menengah ke atas, sekaligus menjaga kesehatan perokok ekonomi terbatas. Juga mencegah remaja dan pemuda menjadi pecandu rokok.
Kedua, terhadap kemungkinan semakin marak rokok ilegal, maka kegiatan operasi terhadap perusahaan rokok ilegal wajib ditingkatkan, sekaligus memberikan edukasi agar para produsen rokok ilegal bersaing sehat di persaingan penjualan rokok legal.
Tusin juga mengaku, dengan tingginya cukai rokok yang ditetapkan, maka peredaran rokok ilegal menjadi semakin tinggi. Dan ini sangat menyulitkan bagi industri rokok legal. Pasar semakin tergencet akibat pertarungan harga di tingkat konsumen.
Dalam dunia produsen memang ibarat “buah simalakama” perusahaan rokok kecil dengan jumlah pekerja cukup lumayan, masih sering dijumpai memproduk rokok ilegal. Inilah potret pabrik rokok terkini. Apakah dimatikan kemudian karyawan jadi penggangguran, atau dibiarkan sementara rokok legal semakin tergencet.
Rokok sendiri ibarat “buah simalakama” (merokok diancam bahaya pembunuh, tidak merokok petani tembakau terbunuh)”. (*)