Oleh : Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi WartaTransparansi.com
Pro kontra Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serentak 9 Desember 2020, di masa pandemi Covid-19, semakin terang benderang.
Pilkada aroma Corona, karena sejak proses pencalonan hingga kini masih dalam suasana diliputi kecemasan tentang virus Corona.
Akankah Pilkada menjadi awal perubahan demokrasi menuju sehat, bermanfaat dan bermartabat. Atau semakin bejat karena diskenario jadi pesta kehancuran budi pekerti pejabat, rakyat, dan wakil rakyat.
Pilkada merupakan dampak dari perubahan Undang Undang Dasar 1945, pada perubahan kedua tahun 2000. Dimana jika pada masa Orde Baru dengan memegang teguh sila keempat Pancasila, maka pemilihan kepada daerah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DPRD jaman Orde Baru dengan komposisi wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditambah utusan ABRI, kecuali hasil Pemilu 1971 dengan 10 kontestan.
Pilkada jaman Orde Baru aroma Pancasila sejati, karena menjalankan amanat sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Dengan sungguh-sungguh.
Pilkada jaman Reformasi sesuai dengan perubahan UUD 1945 pasal 18. Dimana dengan tegas dinyatakan;
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. **)
Pilkada setelah perubahan UUD 1945 “aroma kekuasaan uang” berdalih demokrasi hampir menyeluruh di semua daerah. Dimana praktik permainan uang dari mulai pencalonan, penetapan calon, hingga detik-detik menjelang pencoblosan semua bau “aroma politik uang”.
Cita rasa berbangsa dan bernegara dengan dalih demokrasi sudah merusak tatanan paling mendasar, bahwa “permainan uang” untuk sebuah jabatan jelas-jelas sudah diharamkan, ditabrak seperti bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sila pertama Pancasila begitu agung, “KeTuhanan Yang Maha Esa”.