Opini  

Pelatihan Manajemen Suporter Sepakbola Tanpa “Deklarasi Suporter Damai

Pelatihan Manajemen Suporter Sepakbola Tanpa “Deklarasi Suporter Damai
Djoko Tetuko Abdul Latief

Sekali lagi, sayang seribu sayang, ketika melihat tema “Pelatihan Manajemen Suporter Sepakbola”, sangat senang, tetapi ketika mengikuti dan semakin mengikuti dengan membaca berita terkait acara itu, justru semakin ambyar rasanya. Sebab, manajemen merupakan kebutuhan suporter sepakbola Indonesia secara menyeluruh dalam khazanah lebih luas dan kompleks. Mengingat suporter itu menjadi “lakon” ketika menjelang pertandingan, saat pertandingan dan sesudah pertandingan. Tetapi sama sekali tidak menyentuh apa isi hati dan keinginan dari para suporter itu sendiri. Supaya mendapat “kehormatan” dalam mewarnai sepakbola ke depan. Bukan sekedar jadi obyek saja.

Selain itu, mestinya kesempatan sangat berharga itu dimanfaatkan untuk mengawali membentuk suporter untuk Piala Dunia U-20 sebagai momentum bahwa suporter Indonesia sudah siap menjadi suporter “kelas dunia”, dan membutuhkan sentuhan manajemen bagaimana ketika menyaksikan latihan, memberi motivasi pemain dan klub atau tim negara lain di luar dan di dalam lapangan, terutama saat pertandingan, siap dengan status “suporter nusantara berbudi pekerti luhur”. Hal itu penting mulai ditanamkan, mengingat ada 3 (tiga) hal pokok sebagai pekerjaan rumah terkait suporter.

Pertama, menyatukan mereka para suporter dari klub mana saja, bertempat di wilayah Indonesia mana saja, suporter tingkat apa saja, mempunyai garis tegas dengan mematuhi “Garis-Garis Besar Menjadi Suporter Nusantara”.

Kedua, tidak boleh ada lagi fanatisme terhadap klub atau tim dengan sikap “membabi buta”, dan hal itu perlu ditegaskan ada sanksi, jika terjadi pelanggaran, serta penghargaan jika menjadi contoh sekaligus teladan yang baik.

Kata kunci dari harapan ini bahwa suporter tidak boleh lagi merusak, mengancam, melakukan teror terhadap tim lawan, dan lainnya. Ini membutuhkan “kesepakatan nasional” dan pelatihan manajemen seharusnya mulai dikenalkan, dipahamkan, serta dipopulerkan.

Ketiga, menjaga roda ekonomi baik makro maupun mikro, dengan menghentikan pengrusakan model apa saja berkaitan dengan perilaku suporter, dengan ketentuan dan sanksi jelas pula. Tetapi jika menjadi contoh dalam kebaikan penghargaan juga lebih jelas.

Tiga hal pokok itu, hanya sebagian kecil dari catatan pada Senin (13/7/2020) pukul 14:30, ketika setelah mengikuti materi Indra Sjafri, diajak dialog Sandy Gibol dari Radio Suzana, membahas masalah suporter. Setelah sebelumnya dialog dengan Mayor Haristanto, pelopor suporter cinta damai, pemrakarsa dan Pendiri Pasoepati Solo 2000, Presiden perdana Pasoepati 2000-2001.

Mayor yang juga peraih puluhan rekor Muri, dan ikut melahirkan 3 kelompok suporter : Pasoepati Solo, the Macs Man Makassar, Asykar Theking Pekanbaru. Potret Mayor itu kenyataan catatan tentang diri para suporter dengan berbagai latar belakang, berbagai keinginan dan cita-cita luhur, guna mampu membantu menjadi pendukung timnas dan klub berprestasi.

Ketika dialog di Radio Suzana, semoat menyinggung gagasan Ketua Asprov Jatim, Ahmad Riyadh UB Ph. D, tentang rencana menggelar jambore suporter dan harapan seluruh masyarakat pecinta sepakbola dari mulai baru bisa menendang bola sampai usia tidak terbatas,

Apa itu? bagaimana suporter Indonesia seluruh nusantara damai. Menjadikan suporter Indonesia Berakhlaq dan berbudi pekerti luhur, kreatif dengan berbagai yel-yel, tetapi tetap santun dan bersahaja, bahkan sangat sportif dalam mendukung tim sendiri maupun tim lawan.

Karena dalam pemberitaan dan mengikuti acara awal, kurang menarik. Jujur saja, penyelenggraaan model seperti itu, tanpa deklarasi suporter damai, tanpa deklarasi suporter Piala Dunia U-20 dengan janji “tri sukses” (menjaga nama baik Indonesia sebagai tuan rumah, prestasi timnas dan pemain, juga prestasi pemberdayaan organisasi dengan diikuti kebangkitan roda ekonomi terkait sepakbola dari keterpurukan pada masa pandemi Covid-19. Rasanya sayang! Kesempatan emas itu terbuang begitu saja. (JT)