SURABAYA (WartaTransparansi.com) – Anggota Komisi B DPRD Jatim Pranaya Yudha Mahardika mensinyalir adanya persaingan tidak sehat disejumlah pabrik gula di Jawa Timur menyangkut soal bahan baku yang akan diolah.
“Saat ini yang diperlukan mencari solusi untuk perluasan lahan areal tanam tebu sehingga di musim giling 2020, produksi akan makin bagus,” ungkap anggota Fraksi Partai Golkar itu.
Menurutnya, sesuai UU 23/2014 tentang pemerintah daerah bahwa urusan kehutanan jadi kewenangan Pemprov. Menurut Yudha, Perhutani memiliki areal luas yang bisa dikerjasamakan dengan petani dengan penerbitan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
“Yang peruntukannya juga untuk ketahanan pangan termasuk tebu,” jelas politisi asal fraksi Partai Golkar ini.
Yudha menyarankan perlu adanya sinergi melalui Focus Group Discussion (FGD) atau sinergitas dengan pihak lain. Pemprov dengan DPRD, Perhutani, LMDH dan Pabrik Gula serta koperasi petani.
“Dengan harapan Perhutani mendapatkan tambahan untuk setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), petani atau LMDH mendapat legalitas atas pemanfaatan lahan Perhutani dan bantuan budidaya dari Pabrik Gula. Dan Pabrik Gula mendapat pasokan tebu yang lebih pasti,” bebernya.
Seperti diberitakan, puluhan orang mengatasnamakan Komunikasi Serikat Pekerja Pabrik Gula Jawa Timur melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Jatim, Senin (13/7) lalu.
Mereka meminta pemerintah untuk hadir secara nyata dengan berlaku adil bagi pabrik gula pribumi yang ada di Jawa Timur.
Mereka menyebutkan bahwa berdirinya pabrik gula (PG) PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar dan PT PG Kebun Tebu Mas (KTM) di Lamongan telah mengambil tebu di luar wilayah. Alhasil, musim giling tahun 2020 persaingan untuk memperoleh bahan baku kian sulit.
Ketua serikat pekerja perkebunan PTPN XI, M Arief, mengatakan dengan berdirinya dua pabrik gula dengan premi yang ada saat ini berpotensi menutup pabrik-pabrik yang kecil. Data yang ia pegang pun ada sekitar 12 pabrik gula akan tutup karena berdirinya PG PT RMI dan PG PT KTM.
“Ini yang paling mengerikan adalah berdampak pada pengangguran terbuka yang akan muncul dengan sendirinya. Saat ini Jawa Timur punya dua pabrik besar ya namun akan menutup 12 pabrik dan potensinya serta 12.000 tenaga langsung akan hilang pekerjaannya di sini dan berpotensi sampai berdampak pada 250.000 orang,” terangnya.
Arief berharap pemerintah daerah bisa turun langsung dan hadir bukan hanya bagi pemilik modal, tapi hadir pemerintah ini membela PG pribumi yang ada di Jawa Timur.
“Kami minta diperlakukan adil Kalau kami, PG yang sudah eksis ini diminta untuk melakukan pembinaan kepada petani, melakukan pembinaan lahan dan sebagainya. kita minta PG yang baru juga melakukan itu kita tidak minta subsidi,” pungkasnya.(sr)