“Misalnya penetapan harga di negara A memberikan subsidi pada energi fosil, sementara di negara B tidak demikian. Contoh lainnya yakni, di negara A terdapat adanya perbedaan penetapan harga energi pada siang dan malam, sementara di negara B harga energi tetap sama selama 24 jam. Perlu ada mekanisme penetapan harga yang baku yang mendukung terwujudnya sustainability,” wakil dari Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI ini.
Oleh karena itu, politisi Partai Golkar ini mengimbau dalam hal peningkatan konektivitas power grid, harus juga berlandaskan low carbon emission, dimana peran EBT harus dibuat seoptimal mungkin.
Peningkatan konektivitas power grid perlu didukung dengan adanya transfer knowledge. Setiap negara memiliki kemampuan dan keterbatasan tersendiri dalam melakukan pengembangan EBT. Hal ini sangat bergantung pada banyak faktor, seperti faktor geografis, politik, finansial, infrastruktur, dan lain-lain.
Oleh karena itu, negara-negara lain telah unggul dalam melakukan implementasi EBT, dapat menjadi contoh dan berperan dalam alih pengetahuan atau transfer knowledge. Sehingga pengembangan EBT dan tantangan konektivitas bisa terselesaikan.
“Isu pengembangan EBT dan peningkatan konektivitas power grid ini juga perlu didukung oleh pihak-pihak yang berperan dalam ranah politik, sebagai pembuat kebijakan, dalam mendesain kebijakan-kebijakan yang akan mempengaruhi skala regional Asia Pasifik,” tambah. Esti.
Pihaknya juga mendorong negara APAC lainnya untuk meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) dimana saat ini, baru 39 negara dari total 56 negara APAC yang meratifikasi perjanjian internasional ini.
Pada forum tersebut Esti juga menyampaikan, bahwa sebagai langkah nyata dukungan Indonesia dalam mewujudkan sustainability, saat ini Indonesia pun tengah fokus untuk membentuk Undang Undang Energi Baru Terbarukan (UU EBT) untuk dapat disahkan sebagai kebijakan resmi di Indonesia.
Dalam forum yang dimoderatori oleh David Ferrari, Economic Policy Officer, dari UN ESCAP mewakili divisi energi ini, selain Esti, juga hadir pembicara lainnya, seperti Mr. Michael Williamson dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Economics and Social Committee Asia and the Pacific (UN ESCAP), Mr. Jahangir Masm, dari Coastal Development Partnership, Mr. Xunpeng (Roc) Shi, dari Australia-China Research Institute, mewakili divisi akademik, dan Mr. Patana Sangsiroujana, dari EGAT, mewakili divisi bisnis.(sam)