“Bubar …, bubar …, “ jangan bergerombol, jangan mengundang virus Corona datang dan menyebar …
“Bubar …, tutup warungnya segera …, sudah jangan ngopi lagi !!!” Teriak pak Polisi
Pemilik warung kopi ( Warkop ) dengan muka ditekuk tekuk kayak kertas layangan sobek, menutup Warkop.
Tanpa malu-malu, setelah petugas pergi …, dari balik kancing baju yang sudah bau keringat campur kopi, teh, dan aroma jahe … dari hati paling dalam menjerit jerit
Malam ini saya belum dapat uang pokok, supaya bisa menutupi uang bayar bulanan WIFI, listrik dan uang sewa tempat
Sudah 2 minggu ini Warkop kembang kempis, tetapi petugas gak tahu jerit tangis pedagang kecil. Mereka seperti “Raja Baru” hanya pandai membentak dan memerintahkan menutup warung.
Mereka pak polisi suka-suka menutup warung, tanpa mau tanya apakah ada jalan keluar supaya warung tetap buka. Mereka hanya tahu perintah atasan yang katanya maklumat, dan pedagang kecil gak tahu apa-apa.
Pemilik sah Warkop, hanya bisa nangis darah campur bayang-bayang membayar modal dari uang riba, hanya menuruti apa kata petugas, karena takut masuk penjara, juga takut dibentak bentak, yang kadang tidak manusiawi.
Mereka tidak pernah sadar Warkop menyumbang negara dengan menyediakan wifi, dan dinikmati berjam jam, hanya dengan membeli segelas kopi seharga tiga ribu.
Jerit pedagang Warkop adalah do’a orang teraniaya dan tertindas. Jerit pemilik Warkop adalah jeritan orang-orang pinggiran yang selalu menjadi korban kesewenangan-wenangan. Jerit tangis dari tenda tenda Warkop, seperti halilintar mencambuk Jagad. (*)