Di acara yang sama, Menag Lukman Hakim Saifuddin meminta civitas akademika PTKIN ikut berbicara di ruang publik terkait kompetensi ilmu keislaman. “Kita perlu speak-up, berbicara di ruang publik. Orang yang memiliki kompetensi ilmu keislaman harus bisa merespon isu publik,” katanya.
Menurutnya, inti PTKIN adalah studi keislaman. Sayang, studi keislaman saat ini minim peminat. Prodi Ilmu Tasawuf misalnya, apakah dinilai tidak penting lagi? Atau lebih pada persoalan teknis? Atau ketidakjelasan lapangan pekerjaan bagi lulusan? Atau jangan-jangan ilmu tasawuf kurang peminat karena persepsi yang salah? Padahal ilmu tasawuf adalah ilmu yang luar biasa. Ilmu yang pendekatannya mengayomi, mengajak, merangkul, dan ini kebutuhan dunia.
“Anehnya, peminatnya berkurang dan minim. Ini perlu kajian dan riset serius. Doktor Tasawuf kita banyak, seharusnya mereka bisa menjelaskan urgensi dari sebuah ilmu,” kata Lukman.
Dia melihat, sebelum masa reformasi, ilmu hukum tatanegara juga pernah minim peminat. Namun ketika awal reformasi, hukum tatanegara menjadi studi yang seksi.
“Di sinilah diperlukan, bagaimana kita membuat strategi pengenalan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat,” katanya.
Karenanya, Lukman berharap, khusus dengan ilmu keislaman yang menjadi kompetensi PTKIN, harus ada yang mengawal secara serius, tidak perlu banyak, tapi harus ada outputnya.
Tampak hadir Direktur Diktis Arskal Salim, Para Rektor, Wakil Rektor I, Ketua PTKIN se Indonesia, dan juga Kakanwil Kemenag Provinsi Bangkabelitung. (wt)