Menag Lukman menyampaikan tiga parameter untuk melihat apakah suatu pemikiran dan pengamalan agama dapat dikatakan ekstrim atau tidak. Pertama, nilai-nilai kemanusiaan. “Karena agama Islam hadir untuk memanusiakan manusia. Bahkan ibadah yang sangat pribadi, semisal Shalat pun tidak hanya berhenti pada hubungan hamba dengan Tuhannya. Tetapi juga berorientasi pada hubungan sosial manusia, yaitu untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar,” ujar Menag.
Maka menurut Menag, apabila ada kelompok yang mengatasnamakan agama kemudian malah merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, maka itu sudah masuk kategori ekstrim. Nah bila menemukan hal demikian, menurut Menag maka yang harus dilakukan adalah berusaha mengajak untuk kembali kepada cara beragama yang moderat.
“Watak agama itu merangkul. Dakwah itu mengajak, bukan memusuhi apalagi mengkafirkan. Bila menemui saudara kita yang memiliki pemahaman ekstrim, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengajak mereka kepada wasathiyatul islam,” ujar Menag.
Kedua, kesepakatan. Ketika ada paham keagamaan justru merusak kesepakatan bersama maka ini telah berlebihan. Dalam konteks indonesia, kesepakatan bersama kita adalah Pancasila. “Apa bila merasa tidak sesuai atau ingin mengganti kesepakatan , maka mari kita tempuh cara-cara yang telah kita sepakati bersama. Jangan sampai atas nama agama, kita meruntuhkan kesepakatan yang telah disepakati bersama,” pesan Menag.
Ketiga, ketertiban umum. Lagi-lagi, menurut Menag, seluruh maqasidus syariah itu selain menjaga nilai-nilai kemanusiaan juga menciptakan ketertiban umum. Menag menambahkan Islam itu sangat menjunjung tinggi ketertiban umum, karena itu adalah prasyarat terwujudnya kedamaian. “Jadi ketika ada paham keagamaan yang menimbulkan ancaman bagi ketertiban umum, maka itu sudah berlebihan,” kata Menag.
Dengan tiga parameter tersebut, Menag mengajak para santri untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan bijak. Bukan hanya perbedaan antar agama, bahkan menyikapi perbedaan paham dalam satu agama pun harus bijak. “Apapun pahamnya, selama tidak mengusik tiga hal tadi, kemanusiaan, kesepakatan, dan ketertiban umum, kita harus tetap menghargainya,” tukas Menag.
Akhirnya, Menag berpesan kepada para santri untuk menebarkan kedamaian dengan rasa cinta. “Kita ingin menebarkan kedamaian, tentu harus dengan rasa cinta. Bagaimana mungkin kita bisa menebarkan kedamaian dengan amarah. Bahkan ajaran agama itu bukan paksaan,” pesannya. (wt)