Prof. Dr. Syamsul Maarif M.Si (Gurubesar Manajemen Bencana UNHAN & Ketua Dewan Pembina IABI)
Disampaikan dalam Rangka Kegiatan Rapat Koordinasi Membangun Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Provinsi Jawa Timur, Malang, 13 Maret 2019
- Pendahuluan
Esensi Manajemen Bencana atau Penanggulangan Bencana berdasarkan UU 24/2007 pasal 1 (5) dan pasal 4 disebutkan sebagai “Suatu proses penetapan kebijakan pembangunan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Kebijakan tersebut diselenggarakan berupa kegiatan pencegahan, tanggap darurat, dan pemulihan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, serta menyelaraskan peraturan dan perundang-undangan yang sudah ada, menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta. Disamping itu juga harus dapat mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.
Partisipasi dan kemitraan publik dan swasta yang berkolaborasi dengan Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap penanggulangan bencana, saat ini diterjemahkan oleh Kepala BNPB sebagai Kolaborasi Pentahelix yakni Pemerintah, Swasta, Masyarakat Akademisi, Masyarakat Umum dan Media Massa.
Masing-masing elemen tersebut mempunyai porsi/posisi sesuai bidangnya yang diharapkan dapat saling mengisi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Dengan dikhususkannya akademisi dalam pentahelix, mengandung arti bahwa setiap kebijakan yang diambil dalam penanggulangan bencana haruslah memperhatikan masukan dari para akademisi baik yang bergerak di ilmu-ilmu ke-alaman (Natural Science), maupun yang bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial (Social Science).
Hubungan antara bahaya/ancaman dengan kerentanan dan kapasitas dalam konsep risiko bencana, menjadi acuan para ahli kebencanaan dalam mengawal penyelenggaraan penanggulangan/manajemen bencana di Indonesia.
Para ahli kebencanaan yang dimaksud terdiri dari para akademisi, peneliti, perekayasa, dan para praktisi. Mereka akan saling bahu membahu, gotong royong, dan saling mengisi satu sama lain, dengan meninggalkan “ego” kedisiplinan ilmu ataupun pengalaman masing-masing.
Mereka memahami bahwa berbicara tentang bencana, berarti berbicara masalah krusial yang harus di dekati dari multidisiplin ilmu, transdisiplin, maupun interdisiplin ilmu.
Tidak ada jawaban tunggal dan “ces pleng”dalam menghadapi bencana, dan tidak perlu ada persaingan/kompetisi dalam penanggulangan bencana, yang ada adalah kolaborasi dari berbagai sumber dan cara pandang yang relevan.
Dalam UU 24/2007 pasal 5 dinyatakan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana” yang menegaskan tentang peran dan fungsi pemerintah dalam penanggulangan bencana.
Ke depan, dalam perspektif New Public Governance, peran ini harus juga mendorong ‘ruang deliberasi’ agar masyarakat / komunitas terlibat aktif di dalamnya, sehingga peran pemerintah lebih banyak memberikan ‘steering’ (arahan) daripada ‘rowing’ (mendayung / sebagai pelaku kegiatan);
Secara nasional, hingga saat ini terdapat 2 (dua) isu pokok tentang Pengurangan
Risiko Bencana, yaitu : (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana, hal tersebut terkait dengan keterbatasan kapasitas dalam pelaksanaan tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana, dan (2) masih rendahnya kesadaran terhadap risiko bencana dan masih rendahnya pemahaman terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
6 (enam) butir Arahan Presiden dalam Rakornasi PB di Surabaya :
Pertama, perencanaan, rancangan dan pembangunan tata ruang harus memperhatikan peta rawan bencana. dalam rangka mitigasi bencana.
Kedua, pelibatan akademisi, pakarpakar kebencanaan untuk meneliti, melihat, mengkaji, titik mana yang sangat rawan bencana harus dilakukan secara masif.
Ketiga, apabila ada kejadian bencana, maka otomatis Gubernur akan menjadi komandan satgas darurat bersama Pangdam dan Kapolda menjadi wakil komandan satgas.
Keempat, Pembangunan sistem peringatan dini yang terpadu berbasiskan rekomendasi dari pakar harus dipakai, termasuk hingga ke level daerah.
Kelima, lakukan edukasi kebencanaan dan harus dimulai tahun ini yang dilakukan di daerah rawan bencana kepada sekolah melalui guru dan para pemuka agama.
Keenam, lakukan simulasi latihan penanganan bencana secara berkala dan teratur untuk mengingatkan masyarakat kita secara berkesinambungan sampai ke tingkat RW hingga RT.
- Intelijen Bencana
Kepala BNPB telah menginisiasi dibentuknya Tim Intelijen Kebencanaan yang berintikan kaum akademisi dan unsur-unsur yang tergabung dalam Pentahelix.
- Intelijen Tradisional/Umum
Intelijen sendiri secara tradisional merupakan alat yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan ( Decision Making Process).
Dalam kegiatan itu pada dasarnya adalah “Mengelola Informasi”. Informasi yang telah dikelola itulah yang disebut Intelijen.
Ada 2 metoda dalam mengelola informasi dimaksud, yakni “Analisis” dan “Sintesis”.
Analisis adalah langkah untuk mengelompokkan informasi dalam beberapa bagian yang kemudian di presentasikan berdasarkan relevansi, ukuran, kepentingan, dan urgensinya.
Sintesis adalah langkah untuk menggabungkan mengkonvergensikan berbagai informasi tunggal/terpisah ke dalam unit yang lebih besar dan lebih signifikan, sehingga tercipta sebuah potret utuh dan signifikansi informasi tersebut menjadi jelas.
Langkah selanjutnya, berdasarkan analisis dan sintesis tersebut diharapkan tergambar pola, hubungan serta kecenderungannya dan dapat dibuat skenario kedepannya.
- Mengapa Intelijen Bencana?
Dari berbagai peristiwa bencana, baik bencana alam, bencana non alam, maupun konflik sosial yang terjadi di belahan dunia modern saat ini, menunjukkan bahwa para pengambil keputusan (Pemerintah) sering terdadak, karena tidak mendapat
2 informasi yang dibutuhlan dan relevan.
Kendati di Negara majupun, seperti Amerika Serikat, di akui ketika terjadi bencana terorisme pada 11 September 2001, dan juga Badai Kathrina 2006, bahwa pihakpihak intelijen gagal memberikan informasi yang akurat.
3. Dalam hal intelijen bencana diharapkan tidaklah terlalu bertele-tele atau rumit sebagaimana yang berlaku dalam intelijen tradisional. Meskipun tetap melalui tahapan perencanaan, pengumpulan, proses, analisis dan penyebaran, namun hendaknya dilakukan secara sederhana tetapi valid dan relevan sesuai kebutuhan.
Intelijen bencana, merupakan informasi kebencanaan dari berbagai stake holders yang professional dan memiliki alat-alat khusus misalnya dari BMKG, PVMBG, Ahli Geologi, USGS, Satelit NOOA, Hidrografi, dan sebagainya.
Informasi tersebut diolah secara cepat oleh Tim Intelijen dan menghasilkan kesimpulan untuk disampaikan kepada Pengambil Keputusan Penanggulangan Bencana ataupun disebarkan ke masyarakat sesuai “dosis” kebutuhanya.
III. Peran Akademisi
Dalam lingkup intelijen bencana, peran akademisi adalah menyajikan informasi yang akurat, sesuai kebutuhan, dan bersama-sama melakukan proses analisis, sintesis, dan pembuatan skenario serta Rencana Kontijensi.
Berikutnya, mensosialisasikannya kepada masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat untuk menyadari lingkungan dan waspada terhadap bahaya yang sangat mungkin timbul, atau dalam perkataan lain menentukan “dosis” yang tepat. Agar informasi/intelijen dari para akademisi tersebut tidak menimbulkan kepanikan yang berlebihan di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini sangat sering terjadi, pada saat para akademisi menganalisis suatu informasi hanya terfokus kepada adanya “bahaya yang besar”, atau skenario “akan terjadi bahaya yang mengerikan”. Akibatnya terjadi kepanikan atau malah kontra produktif terhadap masyarakat. Masyarakat malah menjadi apatis dan skeptis, alih-alih tambah waspada.
Semestinya para akademisi tersebut mempedomani kaidah-kaidahrelevansi, ukuran, kepentingan dan urgensi dari penyebaran (diseminasi) informasi tersebut.
Artinya perlu dipertimbangkan : Bagaimana mekanisme untuk mengimplementasikan ketersediaan dan keterbukaan informasi/intelijen bencana pada publik.
Disinilah tantangan para akademisi dalam kegiatan Intelijen bencana yakni, dengan berbekal informasi yang telah di analisis tadi, perlu disintesiskan dengan informasi dari berbagai pandangan akademik atau perspektif disiplin ilmu yang lain.
Dengan upaya itu, diharapkan intelijen bencana dapat menjawab berbagai pertanyaan kritis, seperti :