Oleh : Djoko Tetuko
Ketika negara, pemerintah, rakyat jelata berjingkrak-jingkrak ria, bergembira merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-73, rasanya di antara sanjungan kepada pahlawan sudah mulai tenggelam dimakan jaman. Kisah tentang perjuangan para veteran kemerdekaan sudah berubah menjadi tayangan iklan layanan
masyarakat, tidak lebih dari sekedar iklan belaka.
Kering rasanya mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan, hanya dihiasi dengan pakaian adat dan upacara menaikkan dan menurunkan sang saka Merah Putih. Sejarah panjang perjuangan hingga sampai pada pertolongan Allah SWT, bangsa dan negara Indonesia menyatakan kemerdekaan, dengan rentetan model penjajahan hampir 350 tahun seperti sudah tidak diminati genereasi milleneal sebagai generani jaman now.
Tasyakuran di kampung-kampung hanya sekedar formalitas, bukan sebuah panggilan jiwa bahwa malam 17 Agustus (16 Agustus malam), merupakan detik-detik bangsa dan negara Indonesia menerima sebuah takdir dari Allah SWT dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan berbagai model. Mungkin penjajahan paling bervariasai di antara penjahahan-penjahan di seluruh dunia.
Membaca berita di koran dan media sosial serta kabar dari radio juga televisi masih marak, proses penangkapan dan penegakkan hukum terhadap koruptor. Bahkan seakan-akan prestasi bangsa dan negara Indonesia paling menonjol di permukaan hanya dua; pertama soal koruptor dan kedua masalah narkoba. Berbagai hasil pembangunan infrastruktur
termasuk sarana transportasi jalan tol di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua, juga pemeratan jaringan pembangkit listrik, seakan-akan tenggelam tanpa hiruk pikuk pemberitaan.
Asian Games di Jakarta dan Palembang seperti event penjajahan, di tengah-tengah konidisi bangsa dan negara Indonesia belum mampu mengembalikan pada posisi stabil dalam berbagai aktifitas berbangsa dan bernegara, sehingga cerita soal Asian Games ialah ketidakpuasan para peserta dengan venus pertandingan dan venus latihan, ketidakharmonisan antara Inasgoc dan pengelola lapangan pertandingan. Yang menampar muka dan memalukan adalah kabar mark-up sejumlah proyek Asian Games karena harus diselesaikan segera, bukan ditingkatkan kualitasnya, tetapi digembosi dengan pemanfaatan proyek untuk pribadi dan golongan. Sungguh sebuah pelajaran amat sangat berharga. INASGOC atau Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee adalah komite resmi yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia.
Kisah pelacur tua berlayar (berpindah-pindah) dari kompleks pelacuran satu ke lokasi pelacuran lain, menjadi inspirasi dari tulisan ini, ketika sudah tidak menikmati suasana kemerdekaan, hampir tidak ada perbedaan sudah merdeka lebih dari 70 tahun dengan dijajah Jepang, Belanda, dan Portugis, ratusan tahun silam. Ketika kegembiraan pesta
olahraga se Asia, juga buka kebanggaan, seperti ketika Indonesia menjadi tuan rumah pada tahun 1962, 56 tahun silam.
Ketika berita tentang keberhasilan pembangunan dan bencana nasional gempa Lombok, kalah populer dengan berita penangkapan koruptor dan permainan tangkap menangkap pemain narkoda. Semakin nampak bahwa
negara tidak hadir secara totalitas dengan program prioritas, dengan komunikasi yang efektif kepada masyarakat, dengan pertanggungjawaban yang transparan kepada publik, dengan penyampaian plus minus mengurus negara dengan berbagai ’’mafia’’ yang sudah terlanjur ikut campur dalam pelbagai pesta atas nama rakyat dan bangsa Indonesia.
Bin salabin negara Indonesia sudah berubah menjadi sebuah kebudayaan Indonesia, dengan dipoles berbagai kepentingan sebagai pemanis bahwa Indonesia masih eksis, walaupun apabila dilakukan analisa secara tajam dan mendalam, maka kondisi Indonesia dengan politik luar negeri yang kurang jelas mengarah ke mana? Nampak sekali bahwa ada kebingungan
dalam mengambil sikap harus konsentrasi program prioritas apa?
Yang pasti pembangunan infrastruktur terus dilakukan dengan target pada tahun 5 pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo bahwa jalan tol trans Jawa sudah selesai, jalan tol trans Sumatera sudah mendekati final, dan jalan-jalan protokol di Papua, Sulawesi dan Kalimantan, diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Walaupun belum ada secara jelas
dan tuntas penyampaian kepada publik, pembangunan infrasturktur itu dalam bentuk kerja sama dengan pihak swasta atau apa? Dengan biaya berapa, dengan kebijakan seperti apa? Sekali lagi kisah pelacur tua menjadi sebuah inspirasi, dimana kehidupan pelacur (menjual diri) dari muda sampai usia 25 tahun menjadi masa keemasan dan menjadi primadona di kompleks kelas bintang, memasuki usia 25-40 tahun sudah mulai masuk wilayah lokalisasi kelas melati itu pun kadang di daerah-daerah terpencil, harus berpindah-pindah tempat untuk menghilangkan jejak dan mengelola diri
supaya tetap disebut sebagai ’’barang baru’’, dan memasuki usia 40 tahun ke atas, tinggal menunggu masa-masa sulit dan sudah mulai kehilangan pelanggan. Hanya ada dua perjalanan penting, bertobat atau menjadi germo.
Dan di antara perjalanan pelacur tua, ada yang hampir sama dengan cerita di hadits di mana ada seorang pelacur masuk surga, ketika dalam keadaan kesulitan dengan sepatunya mengambil air untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan. Keikhlasan sang pelacur ini menyebabkan
masuk surga. Demikian juga pelacur tua ini memilih bertobat dengan mengisi hidup penuh ibadah.
Tetapi berbeda dengan pelacur tua yang berakhir di lokalisasi rel kereta api Wonokromo Surabaya, tetap memilih pekerjaan penjual diri, bahkan memilih pelanggan murid sekolah dasar sekali pun, guna menyambung kehidupan esok hari. Pelacur sepanjang hidupnya ini hanya mengisahkan walaupun melakukan pekerjaan buruk atau terburuk, namun
dalam hidupnya tidak pernah mengambil harta benda milik orang lain, apalagi ikut melakukan korupsi berjamaah bersama koruptor, atau ikut terlibat jual beli suara pada saat Pileg, Pilpres maupun Pilkada.
Kisah pelacur tua hanya sekedar mengingatkan bahwa pekerjaan sangat buruk di mata masyarakat, sebagai seorang pelacur, ternyata masih membanggakan karena tidak pernah mencuri, merampok, apalagi koorupsi,
juga terlibat mengatur skor hasil akhir Pemilu. Juga tidak pernah berkhianat kepada negeri Indonesia tercinta, termasuk tidak pernah menjual aset negara, menyelewengkan hak rakyat dan masyarakat, tidak pernah atas nama rakyat miskin meraup keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok serta partainya.
Sebuah refleksi kemerdekaan Indonesia ke-73, suara sumbang bahwa kekayaan di bumi Indonesia hanya dikuasai segelintir orang, bahkan sebagian besar bukan pribumi. Sementara posisi pribumi terus diminggirkan tanpa mampu menikmati pembangunan di kota-kota besar atau jalan tol sekalipun, karena mahal dan tidak mampu menjangkau ekonomi kelas bintang itu. Adakah sebuah perubahan untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)