Opini  

Cap Jempol buat Idrus Marham

Cap Jempol buat Idrus Marham
Dari depan Dr Nik Adzreiman, Djoko Tetuko, Hadi Ismanto, dan Yoyon. Dr Nik adalah sahabat Djoko dari Malaysia saat menikmati indahnya Bromo, Selasa (3/4/2018)

Oleh : Djoko Tetuko

Panggung politik tiba-tiba gempar, ketika Menteri Sosial Idrus Marham dengan kinerja baru seumur jagung dan digoyang pekerjaan amat berat, bencana nasional akibat gempa di Lombok, karena masalah listrik mundur dari Kabinet Kerja Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Lepas dari berbagai tudingan mengarah kepada perbuatan korupsi dalam dugaan suap PLTU Riau-1, tetapi dengan jernih harus memberi Cap Jembol buat Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Mengapa? Karena dengan elegan penuh keyakinan untuk menjaga marwah Jokowi dan Partai Golkar, tidak ada pilihan kecuali mundur, supaya konsentrasi menghadapi jeratan hukum, tanpa harus melibatkan pihak-pihak lain.

Sepak terjang Idrus Marham sejak dari Ketua Remaja Masjid hingga manapak menjadi kader Partai Golkar, bahkan bertahan menjadi Sekjen pada saat Partai Golkar terjadi perebutan kekuasaan pasca Abu Rizal Bakrie.

Juga dengan mudah menggantikan Khofifah Indarparawansa, setelah mundur dari Mensos untuk konsentrasi di Pilkada Jatim 2018. Idrus dengan kepiawiaanya terus melakukan kinerja di kementerian sosial dengan baik dan energik.

Bahkan begitu semangat ketika gempa di Lombok tetap menyatakan yakin bisa diatasi sesuai perintah Presiden. Dan begitu juga ketika menghadapi ’’gempa’’ isu suap, maka harus dengan tegas pula menyatakan masalah moral ini menjadi tanggung jawab pribadinya.

Menteri Sosial Idrus Marham, secara resmi mundur dari jabatannya, hari Jumat (24/08), setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Politikus Partai Golkar ini menjadi menteri pertama kabinet Presiden Joko Widodo yang tersandung korupsi.

Dalam keterangan di situs Kompas.com, Idrus mengatakan pengunduran dirinya adalah ‘bagian dari tanggung jawab moral’. Dimana hal itu dilakukan setelah menerima surat pemberitahuan tentang penyidikan terkait kasus yang dilakukan oleh Eni dan Kotjo.

Seperti diketahui, Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan di gedung penunjang KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (24/8/2018) mengatakan, Sofyan Basir sudah dua kali diperiksa sebagai saksi. Penyidik menurutnya mendalami sejumlah pertemuan yang dilakukan Sofyan Basir dengan tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo dan politikus Golkar Eni Maulani Saragih.

Bahkan PKP sudah melakukan pemeriksaan pejabat di PLN atau swasta lain yang basisnya di Indonesia atau luar negeri. KPK ingin melihat secara utuh bagaimana skema kerja sama pembangunan Riau-1 ini. Apakah mungkin ada pelaku lain? Tentu saja memungkinkan sepanjang ditemukan bukti permulaan yang cukup.

Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, menjelaskan ‘dalam proses penyidikan, ditemukan fakta baru, bukti, keterangan saksi, surat dan petunjuk dan dilakukan penyelidikan baru dengan satu orang tersangka, yaitu Idrus Marham.

Presiden Jokowi mengatakan dirinya menghargai dan menghormati keputusan Idrus.

Kasus ini berawal ketika KPK menangkap anggota DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih atas dugaan menerima suap dari Johannes Budistrisno Kotjo, pemegang saham Blakckgold Natural Resources Limited. Penangkapan Eni dilakukan di rumah Idrus Marham. Baik Eni maupun Kotjo sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Di luar negeri, berita pejabat pemerintahan mundur paling baru ialah Perdana Menteri (PM) Italia yang baru dilantik, Giuseppe Conte, telah mengundurkan diri setelah Presiden Sergio Mattarella menolak profesor anti-Uni Eropa sebagai Menteri Ekonomi.

Kegagalan membentuk pemerintahan baru ini membuat krisis politik Italia memburuk.

Conte, seorang profesor hukum tanpa pengalaman politik, menyodorkan daftar menteri kepada Presiden Mattarella. Dia awalnya berharap bisa mengakhiri kebuntuan politik yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan.

Tetapi, presiden menolak Paolo Savona sebagai kandidat Menteri Ekonomi yang diajukan Conte. Savona dikenal sebagai ekonom anti-Uni Eropa. Veto dari presiden membuat Conte menyerah di penghujung Mei 2018.

Tradisi mengundurkan diri dari jabatan Perdana Manteri juga sudah biasa dilakukan di beberapa negera Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand dan negara tetangga Australia, ketika pemerintahan tidak kondusif, atau karena menghadapi konflik akibat penyalahgunaan jabatan. Dan di Indonesia masih belum terbiasa melakukan tradisi seperti itu, kecuali setelah dinyatakan tersangka atau sudah putusan final mengikat di persidangan.

Politik kekuasaan memang sarat dengan perebutan kemenangan dan kursi kekuasaan itu sendiri. Tetapi dalam kasus Idrus Marham mundur karena ingin menjaga martabat Presiden Jokowi dan Partai Golkar, merupakan satu contoh kesatria dengan penuh keyakinan mengambil sikap mundur untuk mempertanggungjawabkan persoalan hukum dan dekadensi moral secara pribadi. Keputusan itu patut mendapat acungan jempol atau cap jempol.

Khalifah Hasan Mundur
Khalifah Hasan bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, merupakan salah satu contoh sekaligus teladan bagi pejabat dari kalangan muslim, dimana dengan ikhlas harus berani meninggalkan jabatan alias mundur, dengan pertimbangan menjaga kerukunan dan persatuan, menjaga konflik berkepanjangan, sebab apabila perang saudara berkepanjangan akan merugikan, dan efek negatif yang timbul karena kekuasaan.

Pada 17 Mei tahun 660 Sayyidina Hasan dibai’at sebagai Khalifah kelima. Qais bin Sa’ad, panglima perang pasukan Ali bin Abi Thalib, adalah orang pertama yang memba’iat Hasan sebagai Khalifah, kemudian diikuti oleh penduduk Kufah.

Begitulah tren saat itu, khalifah dibai’at secara personal dan kemudian diikuti oleh bai’at berjamaah di masjid. Tidak ada pemilihan umum. Tidak ada pula pembatasan periode jabatan. Itu sebabnya dalam sejarah khilafah intrik-intrik kekuasaan selalu terjadi.

Berita Hasan telah dibai’at menjadi Khalifah terdengar oleh Gubernur Mu’awiyah di Damaskus yang sebelumnya berperang dengan Khalifah Ali pada Perang Shiffin. Mu’awiyah murka dengan naiknya Hasan sebagai khalifah karena ia sendiri telah lama berambisi menduduki posisi puncak itu. Pasukannya diperintahkan untuk siaga satu.

Khalifah Hasan sejak awal berusaha untuk menjaga persatuan. Beliau berpidato: ’’Kalian harus sepenuhnya patuh padaku: berdamai dengan siapa yang aku ajak berdamai, atau perang dengan siapa yang aku perintahkan untuk kita perangi.’’.

Ini berbeda dengan sikap Qais bin Sa’ad yang masih semangat hendak menumpas gerakan makar Mu’awiyah. Itu sebabnya langkah awal yang Khalifah Hasan lakukan justru mencopot Qais bin Sa’ad dan menggantikannya dengan Ibnu Abbas yang semula merupakan Gubernur Bashrah.

Mundurnya Hasan memang moral pasukan menjadi runtuh, apalagi terjadi pergantian panglima. Bahkan ketika beredar rumor Qais terbunuh, banyak penduduk Kufah yang berlari meminta perlindungan kepada pasukan Mu’awiyah. Imam al-Thabari menceritakan bagaimana para pejabat berebutan harta bahkan sampai karpet tempat Khalifah Hasan duduk pun diperebutkan untuk mereka miliki. Mereka merasa Khalifah Hasan kalah pamor dan akan segera ditaklukkan pasukan Mu’awiyah.

Khalifah Hasan bergerak meninggalkan Ibu Kota Kufah dan sementara menetap di Mada’in. Terjadilah surat-menyurat antara Hasan dan Mu’awiyah. Masing-masing berargumen tentang siapa yang lebih pantas dan layak menjadi khalifah. Hasan berargumen tentang keutamaan dan kedekatannya secara nasab dengan Rasulullah.

Mu’awiyah mengajukan alasan senioritas dan juga pengalaman. Mu’awiyah menawarkan sejumlah kompensasi bila Hasan bersedia menyerahkan posisi Khalifah kepadanya.

Khalifah Hasan akhirnya menyetujui mundur dari posisinya. Dengan mundurnya Hasan, perang saudara yang sudah dimulai sejak Perang Jamal dan Perang Shiffin bisa dihentikan. Imam Thabari mencatat Sayyidina Hasan mundur pada 6 Mei tahun 661. Kemudian Hasan meninggalkan Kufah dan tinggal di Madinah.

Sembilan tahun beliau menjalani hidup sebagai rakyat biasa sebelum kemudian wafat diracun. Salah satu butir kekhawatiran Mu’awiyah yang menjadi khalifah pada usia 61 tahun adalah kalau wafat kemudian Hasan akan naik kembali menjadi Khalifah.

Itu sebabnya banyak yang menduga wafatnya Hasan adalah sebuah peristiwa politik. Imam Suyuthi menceritakan Hasan diracun istrinya sendiri yang disuruh oleh Yazid bin Mu’awiyah dengan iming-iming akan dinikahi Yazid, namun ternyata hanya dimanfaatkan dan ditipu saja. Benar atau tidaknya informasi ini, Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.

Namun, Mu’awiyah ternyata panjang umur dan berkuasa selama 20 tahun. Kemudian ia menunjuk anaknya sendiri, Yazid, sebagai Khalifah. Mundurnya Sayyidina Hasan merupakan berakhirnya periode khilafah, persis seperti yang diindikasikan dalam Hadits Nabi bahwa Khilafah itu hanya berlangsung selama 30 tahun, dan setelah itu yang berkuasa adalah para raja (Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad, dan Sunan Turmudzi).

Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (17/8) mengonfirmasi hal ini. Dengan demikian, masa selanjutnya itu sebutannya saja khilafah, tapi sistemnya sudah menyerupai kerajaan. Ini fakta yang seringkali disembunyikan oleh mereka yang kini bekoar-koar hendak mendirikan kembali khilafah.

Salah satu butir perjanjian Mu’awiyah dengan Hasan adalah tidak ada caci maki terhadap Imam Ali. Pada kenyataannya, mimbar masjid di masa Mu’awiyah berkuasa dipenuhi dengan caci maki terhadap Imam Ali. Sayyidina Hasan yang sudah legowo mengalah demi persatuan umat, juga seringkali mendapat sindiran dan nyindir kepadanya.

Imam Suyuthi mencatat ada yang memberi salam kepada Hasan dengan ucapan: ’’Wahai orang yang menghinakan kaum muslimin’’. Mu’awiyah pernah pula terlambat mengirimkan uang pensiun kepadanya sehingga Sayyidina Hasan harus hidup menderita.
Akibat keputusannya untuk mundur, Sayyidina Hasan dan keluarganya harus menanggung beban berat. Beliau mengatakan, ’’Saya tidak bermaksud menghinakan umat Islam dengan mundur dari posisi Khalifah, saya hanya tidak ingin membunuh kalian dengan kekuasaan yang saya miliki dan tengah kalian perebutkan.’’

Kerelaan menerima kekalahan demi menjaga persatuan, seringkali tidak meredakan cacian dan kenyinyiran pihak yang berkuasa. Caci maki lewat mimbar Jum’at terus berlangsung sampai Khalifah Umar bin Abdul Azis kelak menghentikan praktik tercela itu.

Padahal yang mereka caci itu adalah menantu dan cucu Nabi. Kemudian ketika Dinasti Umayyah tumbang, gantian mereka yang dicaci-maki di mimbar Jum’at yang sama oleh Dinasti Abbasiyah. Dan sejarah selalu berulang.

Kisah khalifah dan pejabat mundur dari jabatan dengan berbagi sudut pandang pertimbangan, menunjukkan bahwa sikap meninggalkan jabatan untuk kepenitngan lebih terhormat secara pribadi, walaupun harus meninggalkan kursi kekuasaan atau hingar bingar gemerlap harta kekayaan, merupakan sikap untuk menyelamatkan kepentingan lebih besar untuk rakyat dan umat, merupakan sikap kesatria.

Apalagi mendahulukan kepentingan negara daripada sekedar kepentingan pribadi dan golongan. Itu berarti berpolitik dalam kekuasaan harus mempunyai satu tujuan mulia untuk memperjuangkan marwah pemerintah yang bersih dan berwibawa, juga untuk memperjuangkan martabat umat dengan hidup sejahtera, aman dan nyaman karena tercukupi sandang, papan, dan pangan. (*)