Bukan, dalam penyelamatan secara nasional, melalui donasi umat Islam. Dan masih banyak lembaga-lembaga yang menempelkan nama yatim dan fakir-miskin, juga memenfaatkan sebagai (maaf) ’’usaha’’ dengan memperdagangkan mereka.
Ayat 4-5 surat Al-Ma’un di atas sesungguhnya sebuah peringatan bagi bangsa Indoensia bahwa gambaran orang sholat celaka dan lalai, itu pasti bukan dilaksanakan atau dijalankan dengan berjamaah. Sebab, perintah agama sholat ialah sangat afdhol dilaksanakan tepat pada waktunya, dan berjamaah. Cermin berjamaah menandakan persatuan atau kebersamaan.
Secara fisik seseorang disebut celaka dalam sholat karena tidak melaksanakan tepat pada waktunya atau tidak melaksanakan sama sekali bahkan kadang sampai lalai atau lupa?
Tentu saja agama Islam memberikan jawaban bahwa jika sholat berjamaah dan tepat waktunya, tidak lama setelah adzan dam iqoma, di masjid dan mushola, maka insyaAllah tidak celaka dan lalai. Dan secara batin dengan cita rasa ghoib, apakah sholatnya sudah berkualitas atau tidak, apalagi celaka (menjalankan sesuai dengan makna dan harapan sholat), tidak berbuat mungkar serta tidak lalai (melaksanakan secara khusyu’), maka perjalanan ke masjid dan mushola akan menjawab.
Dan itulah sesungguhnya harapan sila ketiga, Persatuan Indoensia, disatukan dalam bahasa berjamaah dan saling melengkapi juga memberikan peningkatan kualitas. Bukan hidup sendiri-sendiri, bahkan bersaing sendiri-sendiri saling mematikan.
Cermin dalam sholat berjamaah juga menggambarkan sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpn hikmat kejabiksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Dimana ada imam (pemimpin) dengan satu bahasa dan bacaan yang sama dengan makmum (yang dipimpin) atau rakyat, sehingga imam atau pemimpin, tidak mungkin memperjuangkan kepentingan lain, kecuali bagaimana sholatnya diterima dan diridhoi. Demikian juga wakil rakyat atau pemimpin ketika di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, maka harus menyuarakan seperti keinginan rakyat dengan satu bahasa dan satu kata yang sama.
Ayat keenam, lebih merinding lagi rasanya menulis dan menyampaikan sebagai bangsa Indonesia yang sudah gembar-gembor Pancasila, tetapi sama sekali tidak perjuang untuk negara dan bangsa, akan tetapi lebih memilih berjuang untuk kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan lebih hebat lagi jika menonjolkan riya’ atau memamerkan langkah-langkah strategis yang itu menunjukkan tidak ada pembelaan ke rakyat sama sekali, tetapi lebih banyak mengumbar syahwat pribadi dalam berpolitik maupun bernegara.
Sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam bahasa surat Al-Ma’un, enggan (memberikan) bantuan. Itu artinya bahwa sifat gotong royong, Persatuan Indoensia, musyawarah mufakat, dalam satu irama dan gelombang yang sama, belum terbangun. Apabila, saling memberi bantuan dengan suka rela sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawabnya, maka harapan keadilan sosial di seluruh negeri bukan sesuatu yang menjadi angan-angan atau mimpi belaka.
Dalam rubtik Kontak, sekedar ingin mengontak bahwa kontak komunikasi dan kontak batin, sesama muslim, sesama warga negara Indoensia, sesama bangsa pemilik sah NKRI, merupakan upaya untuk menjaga marwah negara ini. Dari makna dan tafsir kebangsaan surat Al-Ma’un dengan Pancasila, sudah menunjukkan bahwa sekedar berbagi bingkisan kepada anak yatim-piatu, adalah sindiran keras dari Allah SWT, bahwa sesungguhnya menyelamatkan anak yatim-piatu, fakir-miskin, dalam bahasa agama dan bahasa Pancasila hidup di Negara Kesatuan Rerpublik Indonesia, merupakan kewajiban. (djoko tetuko)